Liputan6.com, Kolombo - Sebuah pulau terpencil telah dipilih oleh pemerintah Sri Lanka untuk lahan pemakaman pasien COVID-19 dari komunitas minoritas Muslim dan Kristen.
Pemerintah sebelumnya memaksa minoritas untuk mengkremasi jenazah sejalan dengan praktik mayoritas penganut Buddha. Dikatakan bahwa penguburan akan mencemari air tanah, demikiann dikutip dari laman BBC, Rabu (3/3/2021).
Advertisement
Tetapi pemerintah mundur minggu lalu saat kritik keras dari kelompok hak asasi terus menggempur mereka.
Pasalnya, dalam ajaran Islam kremasi dilarang.
Pulau Iranathivu di Teluk Mannar adalah situs yang ditunjuk untuk lokasi pemakaman.
Lokasi itu terletak sekitar 300 km (186 mil) dari ibu kota, Kolombo, Sri Lanka dan dipilih oleh pemerintah karena memiliki sedikit penduduk.
Umat Muslim sempat marah dengan larangan tersebut, yang diperkenalkan ke publik sejak April 2020 dan mengatakan tidak ada dasar ilmiah untuk itu.
Di Sri Lanka, jumlah Muslim hampir 10 persen dari populasi.
Kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengajukan keberatan.
Organisasi Kesehatan Dunia telah memberikan panduan ekstensif tentang bagaimana jenazah orang yang telah meninggal karena Covid-19 harus ditangani dengan aman. PBB juga menunjukkan tidak ada bukti ilmiah yang menyarankan kremasi harus digunakan untuk mencegah infeksi ke pada manusia.
"Ada asumsi umum bahwa orang yang meninggal karena penyakit menular harus dikremasi untuk mencegah penyebaran penyakit. Namun, kurangnya bukti yang mendukung hal ini. Kremasi adalah masalah pilihan budaya dan sumber daya yang tersedia."
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Berikut Ini:
Kremasi Picu Kontroversi
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan kebijakan kremasi gagal menghormati perasaan religius para korban dan anggota keluarga mereka, terutama Muslim, Katolik, dan sebagian umat Buddha.
Kremasi paksa terhadap bayi Muslim berusia 20 hari menimbulkan kecaman terhadap kebijakan tersebut.
"Ini keputusan yang konyol dan tidak sensitif," kata Hilmy Ahamed, wakil presiden Dewan Muslim Sri Lanka, kepada BBC.
"Ini adalah agenda rasis mutlak. Bagian paling menyedihkan adalah hampir mengadu domba Muslim melawan Tamil yang tinggal di daerah itu."
Madutheen Pathinather, seorang pastor yang tinggal di Sri Lanka mengatakan kepada BBC bahwa masyarakat "sangat sedih" dengan keputusan tersebut.
"Kami sangat menentang langkah tersebut. Ini akan merugikan masyarakat setempat."
Advertisement