Banyak Debitur Gagal Bayar Kredit, Bos BRI Usul Ketentuan Ini Ditinjau Ulang

Sudah sejak lama perbankan dihadapkan pada persoalan maraknya UMKM penerima SKIM kredit yang mengalami gagal bayar.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Mar 2021, 12:50 WIB
Direktur Utama Bank BRI Sunarso menjelaskan kredit BRI mampu tumbuh di atas rata rata industri hingga akhir kuartal I 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, Sunarso meminta adanya review soal ketentuan terkait hapus buku kredit dan tagih piutang (write-off) bagi UMKM. Sehingga, perseroan bisa lebih fokus mengembangkan produk dan ekspansi bisnis tanpa harus terhambat kredit bermasalah.

Dia mengungkapkan, sudah sejak lama perbankan dihadapkan pada persoalan maraknya UMKM penerima SKIM kredit yang mengalami gagal bayar. Terutama debitur milik bank BUMN.

Bahkan, fenomena ini sudah tumbuh subur pada tahun 1980-an hingga masa orde baru. Padahal, perseroan itu mengganggu kualitas neraca perkreditan bank.

"Mungkin kita tidak tahu gitu, bahwa ternyata kepada segmen UMKM ini dari tahun 80 an, pun dari jaman orde baru itu diberikan berbagai SKIM kredit mulai dari Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KPKP), Kredit Usaha Tani, dan seterusnya. Sebenarnya itu di dalamnya ada yang macet. dan yang macet itu karena yang memberikan bank milik negara," terangnya.

Akan tetapi, hingga saat ini, BRI masih belum berani mengambil kebijakan hapus tagih hingga pemutihan bagi para debitur yang telah lama mengalami gagal bayar kendati sudah dihapus buku. Menyusul piutang tersebut dianggap bagian dari aset negara.

"Apabila kita hilangkan, maka sama dengan menghilangkan aset negara. Dan itu juga perlu di review, apakah masih terus diberlakukan?," ungkapnya.

Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan kepada regulator untuk segera dilakukannya penyesuaian atas ketentuan tersebut. Hal ini agar adanya kejelasan bagi perseroan dalam menentukan kebijakan dengan tepat terkait persoalan gagal bayar.

"Sehingga tagihan kredit macet UMKM mestinya tidak sama dengan piutang negara," tandasnya.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


OJK

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso saat diskusi FMB 9 bertajuk 'Investasi Unicorn untuk Siapa?', Jakarta (26/2). Potret e-commerce dan start-up Indonesia diyakini akan menjadi saran lompatan besar untuk Indonesia. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso menanggapi usulan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) terkait permohonan UMKM beromzet di bawah Rp5 miliar per tahun diberi fasilitas penghapusan kredit macet dan akses mendapatkan kredit baru. Menurutnya, otoritas menyerahkan sepenuhnya keputusan itu kepada masing-masing bank.

"Menurut kami, itu kebijakan individual. Silakan dilakukan. Kebijakan ini kita serahkan pada pemilik dan pengawas bank untuk mengambilnya," tuturnya dalam webinar bertajuk "Covid-19 dan Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional", Rabu (27/1).

Kendati demikian, OJK menilai usulan penghapusan kredit macet itu tidak bisa diberlakukan secara pukul rata kepada seluruh bank. Mengingat, setiap bank mempunyai masalah, kompleksitas dan strategi bisnis tersendiri.

"Sehingga, kebijakan penghapusan kredit itu tidak bisa kita lakukan secara across the board. Masing-masing bank punya strategi bisnis apalagi kalau kita untuk bank BUMN ini saya rasa birokrasinya sangat complicated berkaitan penghapusan. Swasta ini lebih fleksibel dan punya strategi bisnis tanpa ada kendala," imbuh dia.

Wimboh menambahkan, kebijakan penghapusan kredit macet tersebut harus tetap mempertimbangkan kondisi masing-masing bank dan UMKM selaku debitur. Sehingga kebijakan itu justru tidak menimbulkan masalah bagi kinerja perbankan di kemudian hari.

"Kami harapkan kondisinya stabil. Jangan sampai akibat kebijakan itu ada bank yang mengalami masalah lebih rumit kedepannya," terangnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya