Setara Institute: Tidak Semua Kasus Sengketa Lahan Mafia Tanah

Hendardi menegaskan, sejauh ini Polri sudah bekerja cukup baik dan profesional dalam pengungkapan berbagai kasus pertanahan, dan siapapun yang terlibat pasti akan dilakukan penindakan.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Mar 2021, 20:49 WIB
Petugas menunjukkan perbedaan sertifikat tanah asli dan palsu saat rilis kasus sindikat mafia tanah di Jakarta, Rabu (12/2/2020). Subdit II Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya bersama Kementerian ATR/BPN berhasil mengungkap sindikat mafia tanah dan menahan 10 tersangka. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menilai bahwa tidak semua persoalan tanah atau sengketa tanah bisa dipersepsikan sebagai permainan mafia tanah. Karena itu, harus dihindari, bila terjadi kekalahan dalam sengketa tanah, kemudian muncul stigma atau persepsi negatif seolah ada Mafia Tanah di sana.

"Istilah mafia tanah kadang disalahartikan. Padahal mafia tanah adalah kejahatan terorganisir dan memiliki ekpertis/profesional sehingga kadang tidak mudah mengungkapkannya. Harus diingat bahwa secara umum salah satu ciri mafia tanah adalah menghindari mediasi dan mekanisme hukum,” kata Hendardi, saat dikonfirmasi Kamis (4/3/2021).

Hendardi menegaskan, sejauh ini Polri sudah bekerja cukup baik dan profesional dalam pengungkapan berbagai kasus pertanahan, dan siapapun yang terlibat pasti akan dilakukan penindakan. Terlebih arahan dari Kapolri ditindak lanjuti oleh Polda Metro Jaya dengan membentuk Satgas Mafia Tanah.

"Karena itu, semestinya tidak ada kendala bagi Polri untuk menindak secara tegas semua yang terlibat tindak pidana mafia tanah," ucap Hendardi. 

Namun, menurutnya penanganan kasus terkait sengkeat tanah tetap harus sesuai prinsip negara hukum yang non-diskriminatif, tidak bisa subyektif, dan tetap harus menjaga prinsip Rule Of Law.

"Pola mekanisme hukum menjadi solusi utama bagi penyelesaian sengketa tanah, Sementara Mafia Tanah tidak menggunakan pola prosedural hukum. Tidaklah tepat dan menyesatkan jika semua sengketa hukum pertanahan digeneralisasi menjadi tindakan Mafia Tanah,” tuturnya

Sebagai ilustrasi, lanjut Hendardi, pembebasan tanah oleh pemerintah maupun swasta untuk kepentingan pembangunan apapun, yang mungkin menimbulkan sengketa hukum perdata ataupun pidana, tidak bisa selalu distigmatisasi subyektif sebagai Mafia Tanah. 

"Jadi perlu dihindari opini menyesatkan soal pengertian Mafia Tanah dalam sengketa tanah. Kita tidak boleh gampang memukul rata. Ini agar kita tetap menjaga prinsip hegara hukum,” katanya.

Saksikan Video Pilihan Berikut ini:


Komitmen Berantas Mafia Tanah

Sebelumnya Polri melalui  Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto menggandeng KementerianAgraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk memberatas mafia tanah.

Langkah itu diwujudkan dengan bertemu Menteri ATR/BPN Sofyan A Djalil di kantornya

"Kegiatan ini sebagai tindak lanjut perintah Bapak Kapolri untuk memberantas mafia tanah di Indonesia," tutur Agus dalam pertemuan tersebut, Senin (1/3/2021).

Agus menyebut, kunjungannya dalam rangka memperkenalkan diri sebagai Kabareskrim Polri baru dan bermaksud membahas sejumlah kerjasama antara Polri dan Kementerian ATR/BPN. 

"Salah satu kerja sama yang dibahas adalah terkait upaya pemberantasan mafia tanah di seluruh wilayah Indonesia," jelas Agus.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat setidaknya terdapat 130 kasus mafia tanah yang telah diterima sejak tahum 2018 sampai dengan tahum 2021 yang terdiri dari sengketa dan konflik pertanahan.

"Pertama Jumlah kasus mafia tanah itu dari 2018 sampai 2021 itu ada 130 memang tiap tahun itu ada target- targetnya itu, tahun ini targetnya 38. Jadi banyak mafia itu dan itu kan bagian dari konflik dan sengketa," sebut Tenaga Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Hukum dan Litigasi, Iing Sodikin dalam diskusi TrijayaFM, Sabtu (27/2/2021).

Iing menjelaskan kesulitan dalam mengatasi masalah membongkar tindakan mafia tanah ini adalah infrastruktur hukum perdata yang kerap dipermainkan oleh para pelaku mafia tanah. Dengan sengaja berpura mengajukan gugatan antara dua pihak yang sudah bersekongkol tanpa melibatkan pemilik tanah yang asli, agar mendapatkan putusan dari pengadilan.

"Bagaimana ada orang yang pura-pura menggugat. Sebetulnya pada hukum perdata itu siapa yang bisa membuktikan hak dia harus membuktikan. Mana kala orang ingin sepakat menggugat tapi yang menguasai (pemilik tanah yang sah) tak dilibatkan itu sering menjadi problem. Sebenarnya itu plurium litis consortium (gugatan kurang pihak) yang keputusan itu kontroversial," jelasnya.

Oleh karena itu, ia menilai kalau kasus mafia tanah telah menjadi kejahatan Extra Ordinary Crime ( menghilangkan hak asasi manusia) yang harus dilakukan pemberantasan secara bersama-sama dengan institusi lainya.

"Artinya kejahatan Extra Ordenary yang harus bersama sama penegak hukumnya, kepolisian, Jaksa, KPK, sebetulnya tahu aktor-aktor mafia tanah di tiap-tiap provinsi kalau dia tahu. Bagaimana okupasi ilegalnya ya," kata Iing. 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya