Tanggapi Kudeta Militer, PM Inggris Boris Johnson Ngeri Melihat Insiden Berdarah di Myanmar

Boris Johnson menyerukan pemulihan demokrasi setelah sedikitnya 38 orang tewas dalam unjuk rasa di Myanmar.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 05 Mar 2021, 14:57 WIB
PM Inggris, Boris Johnson selesai memberikan pernyataan pada hari pertamanya kembali bekerja setelah pulih dari virus Corona di Downing Street, London, Senin (27/4/2020). Ini menjadi kemunculan pertama PM Johnson di depan publik setelah hampir sebulan terinfeksi COVID-19. (AP/Frank Augstein)

Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengaku 'ngeri' dengan bentrokan dan pembunuhan yang semakin intensif pada pengunjuk rasa pro-demokrasi di Myanmar.

Boris Johnson menyerukan pemulihan demokrasi setelah sedikitnya 38 orang tewas pada Rabu (3/3) di "hari paling berdarah" sejak kudeta dimulai bulan lalu.

Dikutip dari laman standard.co.uk, Jumat (5/3/2021) hingga kini, lebih dari 50 warga sipil, sebagian besar pengunjuk rasa damai, dipastikan telah tewas akibat serangan polisi dan tentara.

Menyusul kekerasan terbaru, Johnson menulis di Twitter: "Saya ngeri dengan meningkatnya kekerasan di Myanmar dan pembunuhan pada pengunjuk rasa pro-demokrasi."

"Kami mendukung rakyat Myanmar dalam menyerukan diakhirinya segera penindasan militer, pembebasan Aung San Suu Kyi dan lainnya, dan pemulihan demokrasi."

Demonstran kembali ke jalan-jalan Yangon, kota terbesar di negara itu, pada Kamis (4/3) tetapi polisi tampaknya menggunakan kekerasan sekali lagi untuk membubarkan massa.

Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, menggambarkan kala itu sebagai "hari paling berdarah" sejak kudeta menewaskan 38 orang.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Berikut Ini:


Langkah PBB

Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Duta Besar Christine Burgener (kiri) bertemu Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di Jakarta (28/3/2019) (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Dewan Keamanan PBB telah menjadwalkan konsultasi tertutup pada Jumat (5/3) mengenai seruan untuk membatalkan kudeta.

Tindakan terkoordinasi apa pun di PBB akan sulit karena dua anggota tetap Dewan Keamanan, China dan Rusia, kemungkinan besar akan memveto.

Beberapa negara telah memberlakukan atau sedang mempertimbangkan sanksi mereka sendiri.

Bulan lalu, Inggris memberlakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan pada tiga jenderal di rezim militer Myanmar sebagai tanggapan atas pelanggaran hak asasi manusia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya