Liputan6.com, Jakarta Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin meminta jangan ada pihak yang mendesak dan meminta Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait masalah Demokrat.
Menurut dia, Presiden Jokowi memiliki hak untuk memecat atau memberhentikan jajarannya.
Advertisement
"Tidak usah desak-desakan. Presiden memiliki hak otoritas. Baca UUD 1945, Presiden memiliki hak dan menghentikan siapa saja dia mau. Apa urusannya?," kata Ngabalin saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/3/2021).
Dia menuturkan, apa yang terjadi dengan Moeldoko dengan Demokrat adalah sikap pribadi meski berada di lingkar Istana.
Ngabalin menekankan sikap politik Moeldoko tersebut tak ada kaitannya dengan Jokowi.
"Apa urusannya orang di Istana, di pemerintahan dengan sikap pribadinya. Apa urusannya pikiran pendapat sikap pribadinya dengan pemerintahan atau beliau ada di KSP," kata Ngabalin.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Moeldoko Layak Dipecat
Sebelumnya, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko layak dipecat karena merusak citra Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Alasannya, ada upaya pendongkelan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat setelah Moeldoko didapuk sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Sumatera Utara.
Guru Besar Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Jakarta itu mempertanyakan, apakah Moeldoko bergerak atas seizin Jokowi selaku atasan atau tidak. Jika diberi restu, maka Presiden telah merusak tatanan demokrasi.
"Penting untuk dipertanyakan, apakah keterlibatan Jenderal (Purn) Moeldoko pada KLB tersebut sudah seizin Presiden Joko Widodo sebagai atasannya atau tidak? Jika Presiden Joko Widodo mengizinkan atau memberi restu, maka dapat dianggap Presiden telah mengintervensi sebuah partai politik dan merusak tatanan demokrasi," kata Din dalam keterangannya, Senin (8/3/2021).
Selain itu Din menilai, Moeldoko layak dipecat jika bergerak sendiri. Apalagi, dengan menjadi pimpinan partai politik, tugasnya sebagai Kepala Staf Kepresidenan akan terganggu.
Ia pun menyarankan sebaiknya pemerintah tidak menerima hasil KLB Sumut. Jika disahkan pemerintah, akan menjadi preseden buruk dan tercipta kegaduhan nasional.
"Maka yang tepat dan terbaik bagi pemerintah adalah menolak keputusan KLB tersebut. Jika pemerintah mengesahkannya maka akan menjadi preseden buruk bagi pengembangan demokrasi Indonesia, dan menciptakan kegaduhan nasional," tutur Din.
Advertisement