Liputan6.com, Manila - Setidaknya sembilan aktivis Filipina tewas setelah serangan polisi di wilayah utara negara itu.
Insiden itu terjadi hanya dua hari setelah Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan pasukan pemerintah untuk membasmi semua pemberontak komunis.
Advertisement
Dilansir Al Jazeera, Senin (8/3/2021) menurut keterangan kepolisian Filipina, enam orang juga ditangkap dalam penggerebekan di tiga provinsi di sekitar Metro Manila pada Minggu (7/3), sementara setidaknya enam lainnya "melarikan diri".
Polisi juga mengatakan mereka memiliki surat perintah penangkapan terhadap 18 orang, dan menambahkan bahwa beberapa di antara mereka tidak kooperatif saat penangkapan, yang mengakibatkan bentrok hingga berujung kematian.
Sementara itu, kelompok Karapatan dan Partai Pemuda Kabataan tidak mempercayai klaim Kepolisian Filipina. Menurut mereka, para pemberontak itu dieksekusi, bukan hendak ditangkap.
Hal itu dikarenakan beberapa orang yang dinyatakan tewas sebelumnya sempat dikabarkan hilang.
Federasi nelayan Pamalakaya mengatakan bahwa Emmanuel "Manny" Asuncion, seorang kepala buruh di provinsi Cavite, di luar Manila, termasuk di antara mereka yang tewas.
UPLB Perspective, publikasi mahasiswa di University of the Philippines, melaporkan bahwa dua orang penyelenggara perburuhan, yang merupakan sepasang suami istri, tewas di provinsi Batangas, yang berbatasan dengan Manila.
Kedua pasangan suami istri itu adalah Chai dan Ariel Evangelista, bersama dengan putra mereka yang berusia 10 tahun. Keduanya dinyatakan menghilang hanya beberapa jam sebelum kematian mereka.
Namun, keberadaan putra mereka masih belum diketahui.
kelompok Karapatan dan Partai Pemuda menyebut keluarga itu "ditahan" selama penggerebekan dini, tetapi tidak menyebutkan pihak yang menahan mereka.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Berikut Ini:
Penembakan di Provinsi Rizal
Di Provinsi Rizal, kasus kematian akibat penembakan oleh polisi lainnya juga terjadi.
Human Rights Watch (HRW) ikut menyuarakan keprihatinan tentang penggerebekan mematikan tersebut, dengan menyebutkan bahwa, berdasarkan laporan, operasi tersebut tampaknya merupakan "rencana terkoordinasi" oleh pihak berwenang.
"Insiden pembunuhan ini jelas bagian dari kian brutalnya kampanye pemerintah untuk menghabisi pemberontak komunis," sebut Deputi Director HRW Asia, Phil Robertson.
Pada 5 Maret, Presiden Duterte meluncurkan suatu langkah pembalasan terhadap pemberontak komunis di Mindanau.
"Saya telah memberi tahu militer dan polisi bahwa jika mereka terlibat pertempuran bersenjata dengan pemberontak komunis, maka warga diizinkan untuk membunuh. Namun, pastikan kalian benar-benar menghabisi mereka."
"Jika ada yang tewas, pastikan untuk mengembalikan jenazah mereka ke keluarga masing-masing. Lupakan hak asasi manusia. Itu perintah saya. Saya bersedia masuk penjara, itu tidak masalah. Saya tidak ragu melakukan hal yang harus saya lakukan,' ujar Duterte.
Advertisement