Liputan6.com, Jakarta Pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah sebelum menjalankan sekolah tatap muka yang rencananya dilakukan Juli 2021. Masih ada waktu tiga bulan untuk memperbaiki testing, tracing, treatment (3T) serta menegakkan protokol kesehatan 5M (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, membatasi mobilitas, menjauhi kerumunan) sebelum sekolah tatap muka.
"Kalau pemerintah serius (membuka sekolah tatap muka) dalam tiga bulan ini harus ada perbaikan yang nyata, jelas pada 3T dan 5M," kata epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman lewat pesan suara pada Senin (8/3/2021).
Advertisement
Menurut Dicky, saat ini kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia belum terkendali sehingga amat riskan bila sekolah tatap muka digelar. Salah satu indikator jelas dan tegas COVID-19 belum terkendali adalah angka positivity rate yang masih di atas 10 persen.
"Kalau bicara sekolah (tatap muka) itu bicara kelonggaran pengetatan bisa dilihat dari positivity rate. Terlebih dengan sudah masuknya varian baru virus Corona yang lebih menular, bila positivity rate di atas 5-8 persen sangat berbahaya," kata Dicky.
Positivity rate adalah perbandingan antara jumlah kasus positif COVID-19 dengan jumlah tes yang dilakukan.
Dicky juga menyorot soal pelaksanaan 3T di Indonesia juga belum terkelola dengan baik dan belum transparan. Salah satu contohnya adakan ketika ada penurunan kasus tapi juga angka pengetesan menurun.
"Hal ini menyebabkan klaim perbaikan kondisi, klaim tren penurunan tidak memiliki argumen yang kuat karena tidak didukung oleh data yang memadai" katanya lagi.
Indikator lain bahwa kasus COVID-19 di Indonesia belum terkendali adalah angka kematian yang masih tinggi. Per hari ini, 8 Maret 2021, Kementerian Kesehatan melaporkan 281 orang meninggal terinfeksi virus SARS-CoV-2 dengan akumulasi 37.547 orang atau 2,7 persen dari terkonfirmasi.
Simak Juga Video Berikut
Mapping Lokasi Mana Saja yang Prioritas Sekolah Tatap Muka
Pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah perlu melakukan pemetaan sekolah di mana saja yang prioritas melakukan sekolah tatap muka. Hal ini bisa dilihat dari angka positivity rate yang rendah, kata Dicky, paling tidak di bawah 10 persen.
Selain itu, cakupan vaksinasi juga bisa menjadi pertimbangan. Pada wilayah yang cakupan vaksinasi tinggi misalnya diperbolehkan melakukan sekolah tatap muka.
"Kalau di wilayah itu setidaknya sudah 25 persen yang divaksin itu sudah luar biasa bagus sekali. Apalagi bila positivity rate di bawah 10 persen," kata peneliti pandemi dan global health security Griffith University Australia ini.
Hal yang tak kalah penting adalah mempersiapkan lingkungan sekolah yang menerapkan protokol kesehatan. Seperti memperbanyak sarana cuci tangan, memperbaiki ventilasi kelas, mengatur sirkulasi udara ruangan.
Tak ketinggalan Dicky juga menyarankan agar instansi terkait sudah melakukan penyesuaian kurikulum sekolah di masa pandemi COVID-19.
"Dipilih mana mata pelajaran yang tatap muka dan mana yang bisa daring. Jadi, enggak setiap hari ke sekolah," katanya.
Lalu, sekolah juga sudah memikirkan mengenai kapasitas ruang kelas untuk berapa murid, durasi mata pelajarandikurangi, lalu waktu maksimal berada di sekolah pandemi COVID-19.
Dicky juga mengingatkan bagi tenaga pendidik maupun siswa yang memiliki penyakit penyerta tidak memaksakan diri untuk mengikuti sekolah tatap muka. Lalu, bila orangtua tidak menyetujui anak melakukan sekolah tatap muka sebaiknya tidak dipaksa untuk datang ke sekolah.
Advertisement