Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Kebijakan Publik Asep Warlan Yusuf mengatakan dalam pengendalian konsumsi tembakau, tindakan konkret berupa edukasi dan implementasi merupakan prioritas utama dibanding merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012).
Adapun, PP 109/2012 mengatur tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Advertisement
Asep mengamini bahwa kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas pemerintah saat ini yaitu dengan melindungi masyarakat. Selain itu, edukasi juga memiliki peran yang krusial terhadap upaya mengurangi prevalensi perokok. Hal ini dikarenakan setiap kebijakan yang tidak diimbangi dengan edukasi yang baik, maka tidak akan memiliki hasil yang maksimal.
“PP bersifat sebagai regulasi yang didayagunakan untuk tindakan pencegahan. Sedangkan untuk pengendalian secara konkretnya, bisa diterapkan pelarangan merokok di ruang publik atau dengan melakukan edukasi secara aktif soal kesehatan masyarakat,” ujar Asep dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Wacana revisi PP 109/2012 sebelumnya digagas oleh Kementerian Kesehatan, namun demikian usulan ini dinilai mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) dan mata pencaharian bagi jutaan orang yang terlibat di dalamnya.
Untuk itu, tindakan konkret seperti edukasi, sosialisasi, dan tindakan nyata harus menjadi bagian serta upaya untuk mengurangi konsumsi rokok.
Dia mencontohkan misalnya di sekolah ada yang merokok, itu diberikan tindakan, termasuk juga di kantor-kantor, rumah makan, dan ruang publik lain. Hal ini akan mempersempit ruang masyarakat untuk merokok.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
2 Perspektif
Asep menambahkan ada dua perspektif yakni hukum ekonomi dan hukum kesehatan dalam memandang persoalan konsumsi tembakau di Indonesia.
Saat pemerintah memprioritaskan kesehatan, ada dilema yaitu kepentingan ekonomi dari IHT yang padat karya. Di tahun 2020, IHT mengalami penurunan produksi hingga 9,7 persen dan penurunan volume dengan rata-rata 1,5 persen. Hal ini disebabkan oleh kenaikan cukai yang tinggi serta dampak dari pandemi COVID-19.
Kementerian Perindustrian mencatat total tenaga kerja yang diserap oleh IHT adalah sebanyak 5,98 juta orang, yang terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.
“Hal-hal seperti ini yang harus diperhatikan karena memang industri tembakau ini juga memberikan manfaat ekonomi mulai dari petani, pedagang rokok, buruh, dan cukai itu kan bagian-bagian yang harus diperhatikan,” tutupnya.
Advertisement