OJK Wajibkan Perusahaan Terbuka Catatkan Saham di Bursa

Untuk mematuhi peraturan yang berlaku, OJK memberikan waktu selama dua tahun agar perusahaan bisa mencatatkan saham di bursa.

oleh Dian Tami Kosasih diperbarui 09 Mar 2021, 21:28 WIB
Pekerja terlihat di depan layar yang menampilkan informasi pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (8/6/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,34% ke level 5.014,08 pada pembukaan perdagangan sesi I, Senin (8/6). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Resmi merilis aturan baru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut ada ketentuan yang harus diperhatikan, salah satunya perusahaan terbuka tetapi tidak tercatat di papan perdagangan untuk mencatatkan saham di Bursa Efek Idonesia (BEI).

Hal ini tertuang dalam POJK Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Menggantikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1995, Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK, Djustini Septiana menyebut perusahaan terbuka (Tbk) wajib mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

"Semua emiten yang masih belum listing saat ini, seperti bank muamalat wajib melakukan listing di lantai bursa," kata Djustini, Selasa (9/3/2021).

Untuk mematuhi peraturan yang berlaku, OJK memberikan waktu selama dua tahun agar perusahaan bisa mencatatkan saham di bursa. Itu artinya pada 2023, seluruh perusahaan Tbk harus listing atau tercatat di bursa.

Alasan OJK menerapkan peraturan ini ialah membuat ekosistem di pasar modal lebih terkontrol. Selain itu, perusahaan yang mencatkan sahamnya di bursa dinilai mudah diawasi.

"Kalau perusahaan publik itu harus terdaftar, jangan hanya numpang di OJK saja, hal ini akhirnya menjadi tidak sehat. Dengan berlakunya peraturan ini, yang lama menyesuaikan, yang baru wajib listing. Ini mandatory," tuturnya.

Mendukung penerapam peraturan ini, OJK telah berkomunikasi dengan seluruh perusahaan terbuka yang saat ini belum mencatatkan sahamnya di lantai bursa.

"Kami sudah mengundang stakeholder untuk memberikan masukan atau komentar pada saat kita melakukan prosuder pembuatan peraturan. Harusnya semuanya sudah siap," ujar Djustini.

Adapun pada pasal 63 POJK Nomor 3/POJK.04/2021 disebutkan mengenai penawaran umum efek bersifat ekuitas mewajibkan mencatatkan efek bersifat ekuitasnya pada bursa efek dan mendaftarkan efek bersifat ekuitasnya pada penitipan kolektif di lembaga penyimpanan dan penyelesaian.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


OJK Naikkan Sanksi Denda di Pasar Modal

Petugas saat bertugas di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyesuaikan ketentuan untuk akomodasi perkembangan pasar modal, salah satunya besaran denda bagi pihak yang terlambat menyampaikan laporan keuangan.

Hal itu diatur dalam POJK Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan  POJK Nomor 3/POJK.04/2021 untuk menggantikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1995.

Dalam aturan baru ini, terdapat beragam kebijakan baru yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pasar modal saat ini, salah satunya penyesuaian nominal sanksi denda bagi pihak-pihak yang terlambat melakukan penyampaian laporan atau pengumuman kepada masyarakat.

Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK, Djustini Septiana menyebut, penyempurnaan sanksi denda diberikan untuk berbagai pihak, termasuk SRO, emiten, emiten kecil atau menengah, perusahaan publik, profesi menunjang PM, dan lembaga penunjang PM.

"Khusus SRO, sanksi denda POJK menjadi Rp1 juta per hari, dari sebelumnya Rp500 ribu per hari atau maksimal Rp500 juta. Emiten menjadi Rp2 juta dari sebelumnya hanya Rp1 juta per hari atau maksimal Rp500 juta," ujar dia Selasa, 9 Maret 2021.

Untuk emiten kecil atau menengah penyesuaian denda menjadi Rp1 juta per hari, sedangkan perusahaan publik dari sebelumnya Rp100 ribu per hari dengan maksimal Rp100 juta, menjadi Rp500 ribu.

Tak mengalami perubahan, sanksi profesi penunjang PM dendanya masih saam dengan sebelumnya, yakni Rp100 ribu per hari atau maksimal Rp100 juta. Sedangkan lembaga penunjang PM ditetapkan Rp200 ribu per hari, dari sebelumnya hanya Rp100 ribu per hari atau maksimal Rp100 juta.

"Sesuai POJK Nomor 3 Tahun 2021, OJK melakukan penyesuaian nominal sanksi denda baru untuk pihak-pihak yang dianggap tidak menyampaikan laporan atau pengumuman," ujarnya.

Apabila emiten dan SRO tidak menyampaikan laporan, besaran sanksi ditetapkan sebesar Rp1 miliar untuk laporan tahunan dan tengah tahunan, serta Rp250 juta untuk laporan triwulan, bulanan, harian, dan insidental.

Khusus emiten kecil atau menengah, PP dan PE besaran sanksi ditetapkan sama sebesar, yakni Rp100 juta  untuk laporan tahunan dan tengah tahunan dan Rp25 juta untuk laporan triwulan, bulanan, harian, dan insidental.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya