Liputan6.com, Jakarta - Setiap tahun dunia memperingati Hari Tuberkulosis (TB) Sedunia pada setiap tanggal 24 Maret, bulan ini. Tanggal ini dipilih karena pada 24 Maret 1882 seorang pakar bernama Robert Koch melaporkan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab penyakit tuberkulosis (TB), dan dia kemudian mendapat hadiah nobel karena penemuannya ini.
Ketika itu TB merupakan masalah kesehatan amat penting di dunia dan penyebab kematian utama pula. Sesudah kuman penyebabnya ditemukan maka para ahli ketika itu berupaya menemukan obat dan vaksinnya.
Advertisement
Baru pada bulan Juli 1921, seorang bayi Prancis menjadi orang pertama penerima vaksin untuk mencegah tuberkulosis karena Ibunya meninggal akibat TB. Vaksin yang digunakan ketika itu adalah vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin), vaksin yang sama dengan yang digunakan di tahun 2021, 100 tahun sesudah ditemukan. Sampai hari ini diperkirakan sudah milyaran anak di dunia yang mendapat vaksin BCG.
Kalau kita bandingkan dengan vaksin BCG dengan vaksin COVID-19 maka ada dua hal yang dapat disampaikan. Pertama, vaksin BCG ditemukan 39 tahun sesudah kumannya ditemukan. Proses penelitian dan pengembangan vaksin BCG berlangsung 13 tahun lamanya sampai mulai ditemukan pada 1921. Kita tentu tahu bahwa jarak antara ditemukannya virus penyebab COVID-19 sampai ditemukannya vaksin adalah sekitar 1 tahun saja. Hal ini dapat terjadi karena tentu kemajuan ilmu pengetahuan kini amat jauh berbeda dengan awal abad 20 yang lalu.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Simak Video Berikut Ini:
vaksin TB
Dalam perjalanan waktu maka efikasi vaksin BCG memang berubah. Kini vaksin ini fungsi utamanya adalah akan dapat mencegah terjadinya TB berat dan kematian akibat TB pada anak. Jadi vaksin BCG tidak dapat mencegah terjadinya TB pada orang dewasa. Karena itu maka memang dilakukan upaya mencari kandidat vaksin TB yang baru.
Nah ini hal ke dua yang berbeda dengan vaksin COVID-19. Dalam 10 tahun terakhir maka hanya ada sekitar 15 kandidat vaksin TB dan sampai sekarang belum ada yang berhasil baik. Di sisi lain, sejak awal Januari 2020 sampai awal Maret 2021 sudah ada 79 vaksin yang masuk fase uji klinik dan 182 yang masih dalam fase uji pre klinik.
Pesatnya perkembangan jumlah kandidat vaksin COVID-19 setidaknya terjadi karena empat hal. Pertama, situasi memang sedang pandemi yang benar-benar mengganggu sendi kehidupan. Ke dua, tingginya “political will” pemimpin dunia untuk mendapatkan vaksin ampuh dan aman.
Ketiga, adanya dukungan anggaran yang kuat dari berbagai sumber dan ke empat memang banyak produsen vaksin dengan kemampuan tehnologi yang amat tinggi. Kalau untuk vaksin TB maka memang perhatian tidaklah banyak diberikan, walaupun sebenarnya sekitar 1,5 juta orang di dunia meninggal setiap tahunnya akibat TB, dapat lebih banyak dari akibat COVID-19.
Kita tahu pula bahwa pandemi COVID-19 sepanjang 2020 ternyata amat mempengaruhi program pengendalian berbagai penyakit lain, termasuk tuberkulosis. Sebagian besar, atau hampir seluruh sumber daya kesehatan kini berkonsentrasi penuh menangani pandemi COVID-19 dan hal ini tentu berdampak pada masalah kesehatan lain yang ada, termasuk di Indonesia.
Di bulan-bulan mendatang misalnya, vaksinasi COVID-19 akan terus digalakkan, dan tentu akan menyedot sumber daya dan perhatian penuh juga, dan tentu harapannya ini jangan sampai mengganggu kesinambungan program kesehatan yang lain. Karena itu, karena tahun 2021 adalah 100 tahun vaksin BCG penyebab TB, dan di bulan Maret ini ada Hari Tuberkulosis Sedunia, maka akan amat baik kalau kita menggunakan momemntum ini untuk memberi perhatian penuh pula pada penanganan tuberkulosis, penyakit yang membunuh lebih dari 1 milyard orang di dunia dalam 200 tahun terakhir ini. Akan baik pula kalau upaya penelitian dan pengembangan vaksin BCG dapat diaktifkan lebih baik lagi agar dunia dapat benar-benar mengendalikan penyakit ini dengan baik.
**Penulis: Prof Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/ Guru Besar FKUI/ Mantan Direktur WHO SEARO dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes
Advertisement