Liputan6.com, Jakarta Penelitian baru menunjukkan, penyandang disabilitas intelektual sekitar enam kali berisiko terkena dampak COVID-19 lebih tinggi daripada semua orang.
Penelitian tersebut meninjau 64 juta rekam medis yang dikumpulkan oleh 547 organisasi perawatan kesehatan di seluruh AS antara Januari 2019 dan November 2020. Penelitian tersebut menemukan bahwa disabilitas intellektual adalah faktor risiko terbesar (selain usia tua) yang terkait dengan kematian akibat COVID-19.
Advertisement
“Peluang kematian akibat COVID-19 lebih tinggi bagi mereka yang memiliki disabilitas intelektual daripada mereka yang mengalami gagal jantung kongestif, penyakit ginjal, atau penyakit paru-paru,” kata kepala petugas kualitas di Jefferson Health di Philadelphia, Jonathan Gleason sekaligus penulis utama yang studi yang dipublikasikan bulan ini dalam New England Journal of Medicine Catalyst.
Studi tersebut menemukan bahwa orang dengan disabilitas intelektual 2,5 kali lebih mungkin didiagnosis COVID-19 dibandingkan orang lain dan 2,7 kali lebih mungkin dirawat di rumah sakit. Dan, mereka 5,9 kali lebih mungkin meninggal akibat virus SARS-CoV-2, penyebab COVID-19.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Simak Video Berikut Ini:
Faktor risiko terkuat selain usia
Berdasarkan hasil tersebut sehingga dapat diartikan bahwa memiliki disabilitas intelektual adalah faktor risiko independen terkuat untuk diagnosis COVID-19 dan faktor risiko independen terkuat selain usia untuk kematian akibat COVID-19.
Kemungkinan peningkatan risiko pada kelompok disabilitas intelektual ini karena ketidakmampuan kelompok ini untuk menjaga jarak sosial, memakai masker atau mengikuti praktik lain untuk mengurangi paparan COVID-19, kata para peneliti. Tetapi, individu dengan disabilitas intelektual juga lebih rentan terhadap kondisi kesehatan lain yang membuat mereka rentan terhadap virus, lanjutnya.
Penelitian ini dapat menjadi pendukung dalam memperjuangkan kelompok disabilitas untuk diprioritaskan untuk akses vaksin COVID-19. Sampai saat ini, beberapa negara telah memberikan akses vaksinasi COVID-19 kepada kelompok disabilitas, sementara beberapa negara lain belum mengijinkannya.
“Kami perlu lebih memahami tentang apa yang terjadi dengan pasien ini. Saya yakin pasien ini dan pengasuhnya harus diprioritaskan untuk layanan vaksinasi dan perawatan kesehatan. Kita harus merenungkan mengapa kita gagal dalam populasi yang rentan ini, dan bagaimana kita dapat melayani mereka dengan lebih baik selama krisis kesehatan ini, dan di masa depan,” kata Gleason.
Advertisement