Liputan6.com, Jakarta - Segudang kekayaan Nusantara, termasuk kuliner, jadi salah satu napas pemersatu dan keberagaman yang terus mengalir tanpa batas. Begitu pula dengan deretan makanan Tanah Air yang turut hadir di restoran Indonesia yang tersebar di berbagai penjuru dunia.
Salah satunya adalah Hardena/Waroeng Surabaya, restoran Indonesia yang berada di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Awalnya, restoran ini dirintis oleh pasangan suami istri Ena dan Harry Widjojo, pada 2001 silam dan kini dijalankan oleh kedua putri mereka, Diana dan Maylia Widjojo.
Diana bercerita, sang ibunda awalnya mengelola kantin di Konsulat Indonesia New York City selama sekitar 10 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka rumahnya sendiri di Philadelphia untuk melayani komunitas migran Indonesia yang besar.
Baca Juga
Advertisement
Setelah dua dekade berlalu, ada begitu banyak cerita dan momen yang terukir, tidak terkecuali dengan suka duka yang dirasakan kakak beradik ini dalam menjajakan sajian Indonesia di Negeri Paman Sam.
"Tumbuh di Amerika Serikat, kami sebagai orang Indonesia memiliki sedikit atau tidak ada representasi kuliner atau budaya, selain makanan yang dimasak oleh ibu dan tante kami, itulah satu-satunya akses kami ke makanan kami," kata Diana Widjojo, pemilik sekaligus chef Hardena/Waroeng Surabaya kepada Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 11 Maret 2021.
Diana melanjutkan, ia tumbuh besar dengan beragam masakan, mulai dari masakan China, Thailand, Jepang, dan India dan selalu merasa makanan Indonesia juga harus dikenal dengan rasa yang beragam dan unik. Juga, harus terwakili seperti halnya makanan Asia lainnya.
"Saya menjadikannya sebagai misi hidup saya untuk melakukan hal itu. Pada awalnya sulit untuk membuat orang, selain orang Indonesia, untuk mencoba sesuatu yang baru. Tetapi ketika kota di sekitar kita menjadi lebih beragam, saya merasa semakin banyak orang yang ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu yang baru dan menarik," tambahnya.
Dikatakan Diana, satu hal yang paling ia nikmati adalah saat berada di dapur. Ia sengaja melirik dan mendengarkan percakapan orang-orang di ruang makan yang jaraknya dekat.
"Sangat sering, karena restoran kami sangat kecil, para tamu menemukan diri mereka berbicara di meja yang berdekatan dengan mereka dan mereka akan berbicara tentang makanan dan bagaimana mereka mengetahui tentang tempat kami dan mereka akan saling mengenal," ungkap Diana.
Ia menjelaskan, Hardena selalu menjadi restoran komunitas. "Dan melihat orang-orang berkumpul tanpa memandang ras, usia, afiliasi politik, agama, dan lainnya. Melalui makan, saya bahagia untuk pengalaman yang lebih sempurna terjadi saat menikmati makanan Indonesia," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ragam Sajian
Saat ditanya terkait penerimaan makanan Indonesia pada orang asing, Diana menyebut ia dan keluarga telah menerima feedback yang baik selama 20 tahun berdiri. "Tetapi setelah beberapa tahun berubah menjadi sebagian besar orang Amerika," kata Diana.
"Salah satu hal yang kami banggakan adalah meluangkan waktu untuk menjelaskan kepada pelanggan kami apa saja itu, bahan-bahannya seperti apa, apa yang diharapkan, dan terkadang sedikit pelajaran sejarah," terangnya.
Diana mengungkapkan, momen itu disebutnya membuat para pengunjung nyaman untuk mencoba hal-hal baru. "Pada akhirnya mereka bahagia karena kami meluangkan waktu untuk menjelaskan," tambah Diana.
Dalam menjalankan bisnis restoran Indonesia, tak dipungkiri Diana, ia dan keluarga menemui beberapa tantangan utama, seperti akses bahan-bahan tertentu.
"Kami sangat beruntung dengan adanya toko kelontong Indonesia di dekat kami, sehingga tidak sesulit itu tetapi terkadang menemukan barang-barang khusus seperti Jeruk Purut atau Kecombrang bisa mahal atau sulit ditemukan," tuturnya.
Hardena menawarkan sekitar 20 pilihan menu, mulai dari gado-gado, soto, gudeg dan terkadang membuat menu spesial yang menampilkan hidangan tradisional atau perpaduan Indonesia/Amerika modern, seperti Rendang Hoagie yang pada dasarnya adalah sandwich Rendang dengan selada, acar, dan sambal aioli, serta beberapa menu favorit, seperti rendang, oseng tempe, dan sate.
Advertisement
Menu Unik
Salah satu menu unik yang disuguhkan Hardena adalah #NotPizza box, di mana boks pizza berisi ragam sajian Indonesia. Diana meyebut, ide membuat menu ini muncul ketika ia makan pizza yang sesungguhnya di rumah.
"Saat ruang makan kami penuh, kami biasa menyajikan rijsttafel di atas papan kayu besar dengan sekitar 10 item menu berbeda dengan nasi di tengahnya," jelasnya.
Awalnya, Diana tidak berpikir bahwa menu ini akan begitu populer. Ia lantas membeli sekotak boks pizza 14 inci. Untuk beberapa bulan pertama menu unik ini terjual dalam waktu kurang dari lima menit.
"Sekarang #NotPizza memiliki lebih dari 20 item menu 10 di menu reguler kami dan sisanya adalah menu spesial yang kami buat khusus untuk itu," jelas Diana.
Sementara, selama pandemi Covid-19, Hardena berjualan di pikap tepi jalan. Diana menyebut, Philadelphia hanya mengizinkan 25 persen kapasitas tempat duduk.
"Karena restoran kami kecil, tidak ada gunanya hanya memiliki satu meja yang terbuka untuk makan. Ibu kami juga mengalami beberapa masalah kesehatan (tidak menular) jadi kami ingin meminimalkan risikonya untuknya agar dia bisa nongkrong di restoran bersama putrinya," jelasnya.
Dikatakan Diana, beberapa bulan pertama pada awal pandemi, mereka kehilangan sebagian besar pelanggan. "Sampai sekarang ini telah meningkat cukup banyak tetapi tidak seperti volume yang biasanya kami miliki, tetapi untungnya kami memiliki banyak pelanggan reguler kami yang datang dan membeli untuk dibawa pulang," tutup Diana.
Indo Java di New York, Amerika Serikat
Toko kelontong sekaligus warung bernama Indo Java di Queens, New York, Amerika Serikat, tak hanya dikenal luas orang warga negara Indonesia, tetapi juga warga asing. Indo Java menyediakan beragam kebutuhan sehari-hari sekaligus ragam sajian khas Nusantara.
Kisah hadirnya toko ini bermula dari salah seorang pemilik Indo Java, Elvi Goliat, yang datang ke Amerika Serikat pada 2003 silam tidak menemukan makanan Indonesia. Apalagi, saat itu dirinya tengah hamil dan ngidam masakan Indonesia. Kendala lain yang ia temui adalah ingin masak, namun produk Indonesia terbatas di sana.
"Lalu muncul ide, aku sama ibu Dewi sama satu lagi partner, bagaimana kita buka grocery store bersama menjual makanan karena kenapa kita memilih grocery store sama menjual makanan, enggak restoran, karena kalau kita grocery pada waktu itu juga enggak ada," kata Elvi Goliat saat dihubungi Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 12 Maret 2021.
Disebutkan Elvi, kala itu, Indo Java menjadi grocery store Indonesia pertama di New York. Ia dan rekan-rekannya juga sekaligus membuka Warung Selasa dan Warung Kamis.
"Indo Java punya dapur kecil dan kita hanya menyediakan satu macam makanan, karena tempatnya enggak muat untuk jual macam-macam," tambahnya.
Pada awal berdiri pada 2005 silam, Elvi mengaku bahwa mereka menghadapi masa sulit. "Karena orang Indonesia enggak terlalu banyak, rent-nya terlalu mahal, bayar employee terlalu mahal juga, dan peraturan sangat amat berbeda," katanya.
Karena selama lima tahun sejak dibuka penghasilan tidak terlalu banyak, baru tercetus untuk menyuguhkan makanan. "Akhirnya timbul ide, Dewi bisa masak, buka warung di sini, dia chef hari Selasa buka untuk hari Selasa dan hari Kamis saya punya chef Viviane," jelasnya.
Menjalani bisnis toko kelontong dan warung yang menyajikan ragam makanan bukanlah perkara mudah. Duka juga turut dirasa Elvi dan rekan-rekannya, salah satunya adalah soal adanya inspection.
"Kalau kita kedatangan inspection. Orang Indonesia kalau mau makan enggak suka makanan dalam kulkas. Kalau makanan itu datang, kan baru matang, tahu isi, pastel kita taruh di luar. Kalau inspection datang itu makanan semua dibuang karena enggak bisa (didiamkan di luar), makanan itu habis masak di room temperature itu dua jam, sesudah itu semua harus masuk di kulkas," jelasnya.
Meski begitu, Elvi tetap mengikuti peraturan, di mana makanan di masukan ke kulkas yang ternyata tidak laku. "Orang enggak mau karena sudah melempem. Akhirnya kita beli pemanas," tuturnya.
"Katanya inspection itu harus panas sekali atau dingin sekali, kita taruhlah di pemanas, akhirnya rusak karena gosong," lanjutnya. Dikatakan Elvi, inspeksi itu dari dilakukan Departemen Kesehatan Amerika Serikat dalam periode enam bulan sekali dan kedatangannya tiba-tiba.
Advertisement
Kebersamaan di Tanah Rantau
"Sukanya di sini jadi tempat pertemuan seluruh orang Indonesia, saya senangnya kalau ketemu orang Indonesia banyak ke sini pasti ketemu teman lama. Waktu mulai curhat mau cari apartemen, pekerjaan, saya bagian catat-catat, mau membantu sesama perantau di luar negeri," ungkap Elvi.
Elvi juga bekerja sama dengan ibu-ibu dan ingin menjadi komunitas di mana membantu mereka yang punya anak dan tidak bisa bekerja, bisa memasak dan menaruh masakannya di Indo Java. "Lumayan untuk menambah penghasilan ibu-ibu ini," tambahnya.
Sementara, Elvi menyebut baru sekitar 2014--2015, mulai banyak orang asing berbelanja dan makan makanan Indonesia di Indo Java. "Karena banyak yang menikah sama orang Indonesia, anak sekolah dan orang-orang yang sudah ke Bali, dan orang Belanda dan Suriname pasti ke sini, jadi saya punya 75 persen orang Indonesia, 25 persen orang luar," jelas Elvi.
Tempe dan sambal jadi favorit orang asing yang mampir ke Indo Java. "Mereka suka tempe paling terkenal itu sambal. Kita punya sambal terus mereka enggak bilang hot sauce, mereka sudah bilang sambal jadi sudah sangat terkenal," tambahnya.
Sedangkan di masa pandemi Covid-19, dikatakan Elvi, bisnisnya berkembang. Hal ini bukan tanpa alasan, tetapi saat pandemi melanda, toko-toko di sekitarnya tutup, sementara Indo Java tetap buka.
"Saya buka dan bekerja sama dengan ibu-ibu yang waktu itu pada nganggur. Mereka mulai masak, karena toko-toko enggak ada yang buka, kita semakin terkenal, mulai dari New Jersey, itu datang. Terus waktu itu antrenya panjang banget karena satu-satunya yang menjual makan, satu-satu yang menjual kebutuhan pokok itu Indo Java," tutupnya.
Cara Aman Pesan Makanan via Online dari Covid-19
Advertisement