Liputan6.com, Samarinda - Enam warga Samarinda yang menggugat Presiden Joko Widodo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda mengaku kecewa dengan tanggapan presiden. Jawaban presiden atas gugatan rakyatnya itu disampaikan kepada Majelis Hakim tanpa menghadiri persidangan.
Sejak masuk gugatan akhir Januari 2021 lalu, hingga bergulir beberapa kali persidangan, presiden ataupun kuasa yang mewakilinya tak pernah menghadiri sidang.
Belakangan, presiden hanya diwakilkan sepucuk surat dari Kemensetneg atas nama presiden yang memberi kuasa kepada empat pengacara, sebagaimana dikutip dari surat itu di antaranya bernama Budi setiawati, Yanti Ariavianti, Nur Laila Hidayati dan Esther Emamnuaella Wijaya.
Baca Juga
Advertisement
Aning Widi Rahayu, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara ini pada sidang awal pekan lalu, mengatakan surat tersebut diterima PTUN pada 3 Maret 2021 dari Kemensetneg atas nama presiden.
"Ada surat dari Kemensetneg memberikan surat perintah atas nama presiden ke (empat nama kuasa hukum di atas). Surat ini dikeluarkan pada 1 Maret, kami terima tanggal 3 Maret 2021," kata Aning membacakan saat persidangan di ruang sidang PTUN Samarinda, Jalan Bung Tomo, Samarinda Sebrang, Senin (8/3/2021).
Lewat surat tersebut, presiden melalui kuasanya menolak seluruh gugatan enam warga Samarinda.
Sebelumnya presiden digugat enam warga Samarinda karena, sebagai kepala negara, Jokowi dianggap lalai menjaga profesionalitas lembaga negara, dalam hal ini Polri.
Enam warga tersebut di antaranya Hanry Sulistio, Abdul Rahim, Faizal Amri Darmawan, Wahyudi, Siti Zainab dan Lisia. Menurut keenam warga ini, institusi Polri sudah bertindak tidak profesional, karena mencampuri urusan 12 oknum polisi yang mereka gugat di Pengadilan Negeri Samarinda.
Perkara itu, bagi mereka, urusan personal karena itu disebut oknum polisi, namun Polri secara institusi justru menjadi kuasa. Karena alasan itu, mereka menggugat ke PTUN Samarinda.
Simak Juga Video Pilihan Berikut
Menyoal Posisi Hakim
Salah satu penggugat Faizal Amri Darmawan mengaku keberatan atas surat jawaban dari kuasa hukum presiden yang tidak menghadiri persidangan melainkan mengirim surat kepada majelis hakim.
"Karena dalam hukum acara wajib dihadiri semua pihak bukan main titip-titip surat kepada majelis hakim seolah memiliki kedudukan hukum yang berbeda dalam hukum," ungkap Faizal kepada wartawan di Samarinda, Jumat (12/3/2021).
Keluhan yang sama juga disampaikan penggugat lain, Abdul Rahim. Rahim mengaku menyayangkan sikap presiden, karena tidak pernah hadir di persidangan ataupun diwakilkan kepada kuasa hukumnya.
Tak hanya itu, Rahim juga menyoal posisi hakim sebagai pelaksana tugas yudisial bukan advokat. Sehingga tidak etis jika jawaban kuasa hukum presiden diberitahu hakim kepada para penggugat tanpa dihadiri presiden dan kuasa hukumnya.
"Persidangan macam apa ini," keluh Rahim.
Rahim berharap perlu ada sikap kepala negara untuk menghormati persidangan yang digelar dalam wadah peradilan di pengadilan.
"Sebab pengadilan adalah tempat ditemukannya hukum untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan malah keluar jalur dari tata tertib yang ada," sambungnya.
Lebih jauh, Rahim menuturkan, sebagai masyarakat sipil yang taat hukum dan menjalankan kewajiban sebagai warga negara, yang telah di perintahkan perundang-undangan, meminta perlu ada sikap kepala negara menghormati proses persidangan di Pengadilan.
Hanry Sulistio, penggugat lain menyebutkan, perkara perlawanan terhadap penetapan dismissal oleh Ketua PTUN terhadap gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) No 3/G/TF/2021/PTUN SMD jo 3/PLW/TF/2021/PTUN SMD akan di putuskan pada tanggal 22 Maret 2021.
"Jangan sampai putusan justru dihasilkan dari cara-cara dan pertimbangan yang melawan hukum, jika hal ini terjadi maka akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di negara republik Indonesia tercinta ini tercederai dan merusak kewibawaan lembaga yudikatif dimata masyarakat," ungkap Hanry mengingatkan.
Advertisement
Awal Mula Kasus
Diberitakan sebelumnya, enam warga yang menggugat Presiden Jokowi adalah warga Samarinda.
Selain presiden, enam warga ini juga menggugat Ketua Pengadilan Tinggi Kaltim, Ketua Pengadilan Negeri Samarinda, istitusi Polri dan Polda Kaltim.
Alasan gugatan, menurut enam warga ini, presiden dianggap lalai dan melalaikan institusi polri yang campur tangan dalam perkara gugatan 12 oknum polisi yang sedang bergulir PN Samarinda dengan nomor perkara no. 142/Pdt.G/2020/PN Smr.
Sebelumnya, enam warga ini juga menggugat 12 oknum polisi dan Kepala Ombudsman Kaltim di PN Samarinda. Alasan belasan oknum polisi tersebut digugat karena puluhan laporan yang dilaporkan enam warga ini ke Polresta Samarinda namun tak kunjung diproses alias mandek.