2020, UMKM Himpun Dana Equity Crowdfunding Capai Rp 191 Miliar

Jumlah pelaku UMKM yang mengakses crowdfunding equity ini memang masih sedikit dibanding total UMKM yang ada di Indonesia.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 15 Mar 2021, 10:13 WIB
Pengunjung memilih produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dijual di M Block Market, Jakarta, Minggu (14/3/2021). M Block Market merupakan toko swalayan yang menjual 70 persen berbagai produk buatan dalam negeri. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti minimnya akses pembiayaan bagi sektor UMKM yang berasal dari pasar modal. Hal ini mendorong OJK untuk menerbitkan  Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 57/POJK.04/2020. 

Aturan tersebut berisikan Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi (Securities Crowdfunding), menggantikan POJK 37/2018 tentang Layanan Urun Dana melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding).

Kepala Eksekutif Pasar Modal OJK Hoesen menilai, sebagai salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar dalam perekonomian nasional, akses UMKM untuk dapat memperoleh pembiayaan khususnya melalui pasar modal masih terbilang sangat kecil.

"Sebagai gambaran singkat sebelum dikeluarkannya POJK nomor 57 ini, sepanjang 2020 jumlah penerbit atau pelaku UMKM yang menerbitkan saham di equity crowdfunding dari empat penyelenggara mencapai 129 penerbit dengan jumlah dana yang dihimpun mencapai Rp 191,2 miliar,” kata dia dalam Webinar Securities Crowdfunding, Senin (15/3/2021).

Dari angka itu, lanjut Hoesen, jumlah pelaku UMKM yang mengakses crowdfunding equity ini memang masih sedikit dibanding total UMKM yang ada di Indonesia. Menurut data Kementerian UMKM pada 2018, telah mencapai 64 juta pelaku usaha UMKM.

"Namun demikian kehadiran pembiayaan urun dana ini diharapkan untuk memberikan angin segar bagi para pelaku UMKM untuk dapat mengakses dan memanfaatkan pasar modal sebagai alternatif pendanaan. Sehingga pada akhirnya dapat membantu percepatan pemulihan ekonomi nasional," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Mau Pakai Securities Crowdfunding? Perhatikan Dulu Hal Ini

Aktivitas sebuah usaha konveksi milik Enca saat menyelesaikan produksi baju di Desa Curug, Bogor, Jawa Barat, Kamis (4/3/2021). Awal pandemi covid-19, bisnis konveksi terbantu dengan pemesan pakaian APD dan masker yang selanjutnya berkembang dengan penjualan melalui daring. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Ke­uangan (OJK) resmi meluncurkan securities crowdfunding (SCF) bertepatan dengan perdagangan bursa perdana 2021. Penawaran efek melalui layanan urun dana berbasis teknologi ini diharapkan bisa menjadi alternatif sumber pendanaan bagi UMKM untuk mengembangkan usahanya. 

Hingga saat ini, sudah ada empat penyelenggara penawaran efek melalui urun dana yang mendapat izin OJK. Hingga 31 Desember 2020, OJK mencatat nilai total dana yang dihimpun mencapai Rp 184,12 miliar, dengan jumlah usaha yang dibiayai mencapai 124 perusahaan.

Sejumlah analis menilai skema ini akan memberi dampak positif, baik bagi UMKM maupun pasar modal. Kendati begitu, ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi SCF ini.

"Crowdfunding lewat mekanisme SCF memang jadi solusi pendanaan UMKM , ini hal yang bagus. Tapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti tidak semua jenis usaha UMKM menarik di mata investor,” ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis, 28 Januari 2021.

Ia menuturkan, setidaknya ada dua macam UMKM yang menjadi pertimbangan investor. Pertama, ada UMKM kategori favorit yang menawarkan tingkat pengembalian untung besar dan produknya sedang laris dipasaran.

Sebaliknya, yang kedua adalah UMKM yang berorientasi jangka panjang dan produknya relatif banyak pesaing. Menurut Bhima, kelompok UMKM ini akan sulit mendapatkan pendanaan.

"Jadi prinsip winner takes all berlaku dalam SCF. Ada yang dapet banyak pendanaan tapi ada yang tidak dapat sama sekali,” ujar dia.

Sementara, Bhima menilai skema SCF ini membuat investor tertarik membiayai kegiatan UMKM yang sesuai dengan proposal awal sehingga UMKM akan kesulitan melakukan perubahan bisnis.

"Ketika ada rencana perubahan bisnis ini sulit dilakukan karena pelaku umkm terikat perjanjian jangka panjang dengan investor dalam skema SCF,” kata Bhima.

Di sisi lain, ekonom senior Piter Abdullah menekankan pada tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia yang masih rendah. Menurut dia, ada potensi pemanfaatan ketidaktahuan masyarakat untuk tujuan yang merugikan.

"Banyak yang memanfaatkan keluguan masyarakat kita di bidang keuangan, yang kemudian memunculkan banyak penipuan berkedok investasi,” kata Piter saat dihubungi Liputan6.com.

Bahkan, lanjut Piter, meskipun OJK sudah memiliki satgas investigasi, tetapi tidak bisa efektif jika masyarakat pasif. Dia menuturkan, masyarakat juga harus pro aktif mencari informasi, belajar, dan hati-hati dalam berinvestasi.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya