Liputan6.com, Yangon - Pelapor khusus PBB (special rapporteur) Tom Andrews mengungkap rasa sedihnya karena bertambahnya rakyat sipil yang menjadi korban demonstrasi berdarah di Myanmar. Ia dengan tegas berkata bahwa junta militer harusnya di penjara.
"Pemimpin junta harusnya tidak berada pada kekuasaan, mereka mestinya berada di balik jeruji besi," ujar Andrews seperti dilaporkan UN News, Selasa (16/3/2021).
Baca Juga
Advertisement
Andrews menyarankan anggota-anggota PBB agar Myanmar dijerat dengan sanksi yang berdampak pada keuangan dan persenjataan mereka.
Sebelumnya, mantan anggota DPR AS ini berkata tindakan junta militer sudah menjurus menuju kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berdasarkan data Myanmar Spring Revolution, jumlah kematian diestimasi mencapai 200 orang. Sebanyak 185 orang akibat tembakan senjata api.
Korban melonjak pada 14 Maret lalu dengan 74 orang tewas. Angka kematian tertinggi berada di Hlaingtharya (Hlaing Tharyar) yang berada di Yangon
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pemimpin PBB Ikut Mengecam
Pemimpin PBB, Antonio Guterres, ikut mengecam pada meningkatnya kematian pada pekan lalu. Sekali lagi, PBB meminta agar dunia internasional kompak untuk menghentikan situasi represif di Myanmar.
"Pembunuhan pengunjuk rasa, penahanan di luar hukum, dan laporan penyiksaan tahanan melanggar HAM fundamental dan jelas menentang imbauan Dewan Keamanan agar ada penahanan diri, dialog, dan kembalinya ke jalan demokrasi Myanmar," ujar Guterres dalam pernyataan resmi.
Guterres meminta agar militer Myanmar membuka jalur masuk bagi utusan khusus PBB.
Utusan Khusus PBB Christine Schraner Burgener berkata brutalitas yang terjadi menyusahkan kembalinya perdamaian.
"Brutalitas yang berlanjut, termasuk kepada personel medis dan penghancuran infrastruktur publik, secara parah melemahkan prospek-prospek untuk perdamaian dan stabilitas," ujarnya.
Advertisement