Liputan6.com, Jakarta Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga menyebut penangkapan terhadap seorang warga berinisial AM di Surakarta terkait Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, dinilai sebagai tindakan yang berlebihan.
Sebelumnya, AM diciduk oleh Polresta Surakarta saat melakukan operasi virtual police, Senin, 15 Maret kemarin. Lewat akun @garudarevolution, warga Slawi tersebut mengunggah komentar yang diduga bermuatan ujaran kebencian kepada putra pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Advertisement
AM mengomentari Gibran yang meminta semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo.
"Tindakan penangkapan dilakukan oleh Kepolisian tersebut merupakan tindakan yang berlebihan. dan merupakan langkah mundur pasca pidato Presiden Jokowi soal kebebasan berpendapat dan demokrasi," kata Sustira dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/3/2021).
Dia meyakini, tindakan yang semakin mencederai kebebasan berpendapat tersebut menunjukkan desakan bahwa UU ITE harus direvisi. Menurut Sustira, masalah utamanya terletak pada pemahaman aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian terkait dengan individu dan jabatan dalam konteks penerapan UU ITE.
"Pasal yang diduga oleh kepolisian dalam hal ini tidak berdasar dan tidak memiliki keterhubungan dengan peristiwa," jelasnya.
Sustira merinci, pertama, jika ingin menggunakan UU ITE yang sering digunakan selama ini, yaitu Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari genusnya yaitu norma hukum yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.50/PUUVI/ 2008. Pasal 27 ayat (3) ini merupakan delik aduan absolut.
"Sebagai delik aduan absolut maka yang boleh melaporkan hanyalah orang yang menjadi “korban” penghinaan secara langsung dan laporan tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain korban," tegas dia.
"Maka yang menjadi pertanyaan dalam penangkapan warga tersebut adalah apakah Gibran membuat pengaduan kepada kepolisian atau tidak? Jika tidak maka kepolisian telah salah dalam menerapkan pasal 27 ayat (3) UU ITE," yakin Sustira.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Polisi Virtual Fokus pada Kejahatan Siber
Sustira melanjutkan, jika kepolisian ingin menggunakan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yang juga kerap kali digunakan untuk menyasar kelompok atau individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah, maka tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian tersebut adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif.
"Dalam hal ini, ICJR menilai bahwa tidak ada ujaran kebencian yang dilakukan oleh warga tersebut. Dimana unggahan tersebut ditujukan kepada Gibran secara individu, bukan sebagai golongan masyarakat tertentu," bebernya.
Sustira menambahkan, keberadaan polisi virtual atau virtual police justru difungsikan untuk mengawasi perilaku warga negara dalam berekspresi di dalam dunia digital.
"Hal ini jelas mengancam dan memperburuk demokrasi di Indonesia dan justru menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan pendapat atau memberikan kritik atas jalannya pemerintahan," nilai dia.
Dia pun menyarankan agar polisi virtual difokuskan untuk menangani kejahatan-kejahatan siber yang kian marak terjadi seperti penipuan online yang saat ini menjadi sorotan masyarakat.
Sementara itu, Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengatakan, bahwa ditangkapnya AM lantaran tak ada niatan baik untuk menghapus unggahan komentar meski telah diperingatkan melalui direct message (DM) oleh Tim Virtual Police Polresta Surakarta.
Advertisement