Kasus Suap Benur Edhy Prabowo, KPK Panggil Sekjen KKP Antam Novambar

KPK menyatakan, Antam Novambar dan Yusuf akan dimintai keterangan untuk melengkapi berkas penyidikan mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dan tersangka lainnya.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 17 Mar 2021, 10:06 WIB
KPK menyita uang tunai Rp 52,3 miliar dari pengembangan kasus suap ekspor benih lobster yang menyeret eks Menteri KP, Edhy Prabowo. (Liputan6.com/Fachrul Rozie)

Liputan6.com, Jakarta - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan memeriksa Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Antam Novambar dalam kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster atau benur di KKP. KPK juga akan memeriksa Inspektur Jenderal KKP Muhammad Yusuf.

Antam Novambar dan Yusuf akan dimintai keterangan untuk melengkapi berkas penyidikan mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dan tersangka lainnya.

"Benar, hari ini tim penyidik KPK mengagendakan pemanggilan sebagai saksi, yaitu Sekjen dan Irjen KKP dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian KKP dengan tersangka EP dan kawan-kawan," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (17/3/2021).

Ali belum merinci lebih dalam soal pemanggilan Antam Novambar. "Perkembangannya akan kami informasikan lebih lanjut," kata Ali.

Sebelumnya, KPK menyatakan bakal mendalami peran Sekjen KKP Antam Novambar. Peran Antam bakal diseilisik KPK usai penyitaan uang tunai sekitar Rp 52,3 miliar.

Antam diduga menerima perintah Edhy Prabowo untuk membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan Bank (Bank Garansi) dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).

"Tentunya nanti akan kami konfirmasi lebih lanjut kepada para saksi apakah kemudian ada unsur kesengajaan, misalnya dalam konstruksi secara keseluruhan proses di dalam dugaan korupsi seluruh peristiwa yang ada di perkara ini," ujar Ali, Senin (15/3/2021).

Saksikan video pilihan di bawah ini:


KPK Sita Uang Tunai Rp 52,3 Miliar

KPK menyita uang tunai Rp 52,3 miliar dari pengembangan kasus suap ekspor benih lobster yang menyeret eks Menteri KP, Edhy Prabowo. (Liputan6.com/Fachrul Rozie)

KPK menyita uang tunai sekitar Rp 52,3 miliar dari salah satu bank. Uang tersebut diduga berasal dari para eksportir yang mendapat izin ekspor benur di KKP Tahun Anggaran 2020.

Ali mengatakan, Edhy Prabowo diduga memerintahkan Sekjen KKP agar membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan Bank (Bank Garansi) dari para eksportir kepada Kepala BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan).

Selanjutnya Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima Bank Garansi tersebut. Padahal, menurut Ali, aturan penyerahan jaminan bank tersebut tak pernah ada.

"Aturan penyerahan jaminan bank dari para eksportir sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benih bening lobster tersebut diduga tidak pernah ada," kata Ali.

Dalam kasus ini KPK menjerat Edhy Prabowo dan enam tersangka lainnya. Mereka adalah Safri (SAF) selaku Stafsus Menteri KKP, Siswadi (SWD) selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo, Ainul Faqih (AF) selaku Staf istri Menteri KKP, Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Stafsus Menteri KKP, Amiril Mukminin (AM) selaku sespri menteri, dan Suharjito (SJT) selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP).

Edhy diduga telah menerima sejumlah uang dari Suharjito, chairman holding company PT Dua Putera Perkasa (DPP). Perusahaan Suharjito telah 10 kali mengirim benih lobster dengan menggunakan jasa PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

Untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aero Citra Kargo dengan biaya angkut Rp 1.800/ekor. Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy.

Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri. Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.

Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyita Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp 750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.

Edhy diduga menerima uang Rp 3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima USD 100 ribu yang diduga terkait suap. Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp 9,8 miliar.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya