Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mengkaji untuk kegiatan arus mudik pada libur Lebaran Idul Fitri 2021. Bisakah mudik lebaran dilakukan di tengah tingginya penyebaran virus corona di Indonesia. Dalam sepekan terakhir, kasus positif Covid-19 berada pada angka rata-rata 5.000 lebih per hari.
"Dapat kami kemukakan terkait dengan mudik 2021, pada prinsipnya pemerintah melalui Kementerian Perhubungan tidak melarang," ujar Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi saat rapat kerja bersama Komisi V DPR RI, Selasa (16/3/2021).
Advertisement
Menhub mempredikisi jumlah angkutan yang melintas jelang libur Lebaran Idul Fitri 2021 akan mengalami lonjakan. Ada beberapa faktor yang mendukung prediksi tersebut, seperti hadirnya vaksin Covid-19 yang meningkatkan kepercayaan diri masyarakat untuk bepergian.
Selain itu, tes GeNose yang dipasang di stasiun kereta api dengan harga murah juga membuat masyarakat ingin melakukan perjalanan jauh. Di samping juga ada kebijakan relaksasi pajak PPnBM 0 persen yang turut meningkatkan minat masyarakat untuk membeli mobil.
Karena itu, pemerintah berjanji akan memperketat aturan mudik dan fokus pada tracing atau pelacakan kepada pelaku perjalanan untuk mencegah penyebaran virus corona. Pemerintah juga akan mempersingkat masa berlaku alat skrining (penyaringan) Covid-19 seperti: GeNose, rapid test, dan swab test.
Kemenhub akan berkoordinasi dengan Satgas Penanganan Covid-19 untuk membahas mekanisme mudik 2021.
Namun Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo menyatakan bahwa keputusan pemerintah soal mudik lebaran 2021 belum final. Kajian mendalam diperlukan lantaran libur panjang masih berpotensi menimbulkan lonjakan kasus Covid-19.
"Jadi semuanya masih dalam kajian. Dan itu itu sudah dimasukkan. Liburan panjang pasti menimbulkan peningkatan kasus," kata Doni di DPR, Jakarta, Selasa 16 Maret 2021.
Hal itu berkaca pada beberapa libur panjang yang terjadi sebelumnya. Pada libur panjang Natal 2020 dan tahun baru 2021, terjadi ledakan kasus aktif Covid-19 yang berdampak pada penuhnya rumah sakit hingga meningkatnya angka kematian.
"Angka kematian pada Desember 2020, 250 orang per hari rata-rata," tutur Doni.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu menyatakan, bahwa keputusan soal mudik lebaran 2021 akan dikaji oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang diberi mandat presiden.
"Saya selaku kepala satgas tentu akan memberikan masukan bagaimana pengalaman kita semuanya setiap akhir libur panjang pasti dilanjutkan dibarengi dengan peningkatan kasus aktif, menambah angka kematian, menambah jumlah korban para dokter," ucap Doni.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menilai pernyataan Menhub Budi Karya Sumadi tidak melarang mudik justru berpotensi membingungkan masyarakat di tengah situasi pandemi Covid-19. Di samping dianggap tidak berwenang mengeluarkan kebijakan sendirian, pernyataannya juga tak seirama dengan sikap Satgas Covid-19.
"Ini pernyataan yang menurut saya di luar kewenangan Menhub, karena yang punya wewenang menyatakan ini bisa mudik kan Presiden. Wacana yang disampaikan Kemenhub ini justru bisa membingungkan masyarakat," kata Trubus saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (17/3/2021).
Dia memahami tujuan Menhub tidak melarang mudik salah satunya untuk meningkatkan geliat ekonomi terutama di sektor transportasi yang sempat mati suri terdampak pandemi. Jika itu keputusan pemerintah, seharusnya dirapatkan Presiden terlebih dulu.
"Kan ini ranahnya bukan Kemenhub yang memutuskan mudik atau tidak. Tapi harus koordinasi dengan kementerian/lembaga lain, misal Kemenko Perekonomian, Kemendagri, Kemlu, Kemenpan RB, Kemenkes, Kemensos. Jadi banyak aspek yang harus dibicarakan, tidak bisa dia jalan sendiri," ujarnya.
Kendati, Trubus tetap setuju pemerintah melarang mudik pada libur Lebaran 2021 ini. Dia sependapat dengan pernyataan Doni Monardo bahwa libur panjang selalu menimbulkan peningkatan kasus Covid-19.
"Karena kita kan punya trauma tiga kali libur panjang, yang kemarin kan menyebabkan RS penuh, tempat isolasi sudah tidak memungkinkan lagi. Apakah kita mau horror seperti itu lagi. Sementara di masyarakat juga ada ketakutan karena ada varian baru Covid-19 itu," katanya.
Dia juga memprediksi akan terjadi kemacetan hebat selama arus mudik. Kondisi itu didukung dengan kebijakan pemerintah merelaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dapat meningkatkan animo masyarakat dalam membeli mobil pribadi.
Selain itu, kebijakan pemerintah memangkas cuti bersama juga akan mengurangi jumlah libur Lebaran Idul Fitri 2021. Dengan begitu, praktis libur Lebaran 2021 hanya dua hari yakni 13-14 Mei, sehingga konsentrasi lalu lintas arus mudik dan arus balik akan terjadi di dua hari itu.
"Kemacetan luar biasa ini akan menimbulkan kelelahan, sementara orang capai mudah sekali tertular Covid-19. Nah itu apa enggak jadi horror penularan di situ karena lelah. Saya yakin di tengah jalan nanti akan banyak pengendara yang akhirnya terkapar enggak kuat. Pengalaman dulu seperti kasus Brexit (Tol Brebes Exit)," ucap Trubus.
Melihat kondisi itu, Trubus pun mempertanyakan sejauh mana kesiapan pemerintah terkait infrastruktur dan sarana prasana dalam menghadapi arus mudik 2021. Dia tidak yakin pemerintah bisa maksimal menyiapkan infrastruktur dalam waktu kurang dari dua bulan.
Apalagi yang dibutuhkan bukan hanya sebatas untuk keselamatan perjalanan, tapi juga protokol kesehatan pencegahan Covid-19. "Mungkin persiapan satu bulan untuk mendirikan posko-posko ini kayanya kok berat. Wong PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) aja kita enggak jalan," ucap Trubus.
Karena itu, dia meminta pemerintah tidak terburu-buru memutuskan untuk memperbolehkan mudik lebaran 2021.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Epidemiolog Ingatkan Kasus Covid-19 Masih Tinggi
Kepala Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono menanggapi sikap pemerintah yang tidak melarang mudik pada Lebaran Idul Fitri 2021.
Menurut Miko, Indonesia tidak memiliki hukum yang melarang seseorang untuk bepergian. Akan tetapi seharusnya pemerintah menganjurkan untuk tidak berkumpul. Termasuk mudik bareng atau mudik bersama pada Lebaran 2021, itu tidak direkomendasikan.
"Yang benar bukan tidak boleh atau melarang, tapi tidak merekomendasikan untuk mudik. Dengan kondisi Covid-19 sekarang, pemerintah seharusnya tidak merekomendasikan untuk mudik," kata Miko saat dihubungi Health Liputan6.com, Rabu (17/3/2021).
Epidemiolog dari UI ini menjelaskan, bahwa secara angka memang kasus baru atau kasus harian Covid-19 di Indonesia menurun di kisaran 4.000. Namun, angka itu diperoleh dari pemeriksaan sekitar 40 ribu sampel per hari.
"Waktu (kasus harian) 10 ribu, itu pemeriksaannya mencapai 70 ribu. Ketika diturunkan menjadi 40 ribu, kasus barunya menjadi 4.000. Nah, kalau melihat positivity rate, rata-rata di atas 10 ribu. Itu menunjukkan bahwa kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi," Miko menambahkan.
Kasus Covid-19 bisa dikatakan menurun jika positivity rate kurang dari lima persen. Indonesia bisa mencapai positivity rate di angka serendah itu jika cakupan vaksinasi Covid-19 mencapai 50 juta atau 100 juta, kasus baru corona di Tanah Air pun akan turun per tiganya.
"Pada saat itu, menurut saya, mungkin pemerintah membolehkan (untuk mudik) tapi dengan hati-hati. Boleh dengan hati-hati ini maksudnya kalau pergi harus dengan swab test PCR atau minimal dengan rapid test antigen," katanya.
"Tapi lihat sekarang, kereta api saja pakai GeNose," Miko menambahkan.
GeNose C-19, lanjut Miko, alatnya secara teori belum 'hacep' atau mantap, "Jadi, penciptanya, menurut saya, tidak bisa menjelaskan terkait VOC atau votalite organic compound yang terdeteksi di dalam alat GeNose."
Menurut dia, alat dan metode yang dipakai dalam GeNose C-19 tidak secara langsung mendeteksi material virus Corona, melainkan mendeteksi senyawa yang disebut VOC.
"Itu diproduksi dari sel apa, itu hari keberapa terbentuknya secara teori harus dijelaskan. Kalau tidak bisa dijelaskan, itu bahaya betul. VOC itu bisa dipengaruhi oleh makanan soalnya," kata Miko.
"Walaupun alat ini sudah divalidasi, menurut saya masih banyak yang harus dijelaskan," Miko menambahkan.
Oleh sebab itu, Miko mengimbau agar pemerintah hanya memakai dua metode pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus corona, yaitu PCR dan rapid test antigen.
"Pemerintah seharusnya memurahkan rapid tes antigen saja. Dengan memurahkan saja akan jadi aman untuk bepergian," ujarnya.
Ancaman Varian Baru
Hal serupa juga disampaikan Epidemiolog, Dicky Budiman. Menurut dia, saat ini perjalanan masih berisiko meningkatkan penyebaran dan terinfeksi Covid-19 lantaran pandemi corona di Indonesia belum terkendali.
"Ini sebetulnya riskan dan berbahaya ketika dalam situasi pandemi belum terkendali," kata Dicky kepada Liputan6.com, Rabu.
Ketika pandemi belum terkontrol lalu tidak ada pembatasan mobilitas, mudik lebaran dinilai bisa meningkatkan risiko penularan. Terlebih pada saat ini ada ancaman varian baru virus corona yang lebih cepat menular, yakni B117 serta varian lain yang belum terdeteksi.
"Mobilitas yang tidak dibatasi tentu sangat berbahaya dan berisiko terjadinya penularan lebih cepat, ledakan kasus dan berakibat pada jumlah kematian," tegas peneliti dari Griffith University Australia ini.
Lebih lanjut, Dicky menyoroti masih lemahnya sistem deteksi kasus Covid-19 di Indonesia. Hal itu terlihat dari angka tes kasus Covid-19 yang setiap hari dilaporkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Dia juga mengingatkan bahwa program vaksinasi Covid-19 yang sudah berjalan masih jauh dari total target sasaran. Selain itu, vaksinasi pun tidak serta merta menghilangkan ancaman dari penularan virus SARS-CoV-2.
"Bila sudah divaksin pun tidak boleh serta merta ke sana dan sini karena tidak menghilangkan kewajiban tes. Lalu, vaksinasi belum menghilangkan ancaman secara keseluruhan dari potensi penularan."
Dicky mengingatkan, bila pemerintah ingin masyarakat memiliki libur yang aman dan tenang berarti mesti memperkuat strategi 3T (test, tracing, treatment). Dengan 3T yang diperkuat, maka usaha Indonesia memiliki positivity rate di bawah lima persen sebagai tanda pandemi terkontrol itu bisa terwujud.
"Kalau itu tidak dilakukan akan selalu berisiko," kata Dicky.
Peran serta dalam menekan laju penularan Covid-19 tidak hanya dari pemerintah, tapi juga masyarakat yang disiplin menjalankan 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas).
Syarat Perjalanan Aman
Dicky mengimbau masyarakat menunda perjalanan dan tetap bertahan di rumah karena situasi pandemi belum teratasi. Namun jika perjalanan terpaksa harus dilakukan, ada beberapa langkah yang perlu diikuti untuk melindungi diri dan orang lain.
"Pertama ialah jika memang kita sudah divaksinasi, sebaiknya begitu vaksinasi lengkap, artinya sudah lebih dua minggu suntikan kedua kemudian juga tidak memiliki gejala," katanya.
Lakukan tes usap PCR atau rapid test antigen sebelum perjalanan, sekalipun telah divaksinasi. Sebab, vaksinasi Covid-19 tidak bisa menjamin seseorang bebas dari paparan virus corona.
Selama perjalanan, masker harus selalu dipakai. Bagi pengguna kendaraan pribadi, sebaiknya tidak terlalu lama berada di rest area. Selama beristirahat di rest area juga harus mematuhi protokol kesehatan.
Begitu tiba di tempat tujuan, sebaiknya kembali melakukan pemeriksaan minimal rapid test antigen ditambah isolasi mandiri selama tujuh hari. Jika tidak tes, sebaiknya melakukan isolasi mandiri selama 10 hari setelah perjalanan.
"Nah semua proses ini saya sarankan tetap melaporkan ke sistem online di tempat yang dituju, dengan Puskesmas online untuk melaporkan kepergian dan kedatangan atau kepulangan, sehingga terdata oleh puskesmas setempat," kata Dicky.
Sementara orang yang dinyatakan positif corona atau memiliki gejala mengarah Covid-19 dilarang melakukan perjalanan. Begitu juga mereka yang dalam 14 hari kontak dengan suspek Covid-19.
"Orang ini harus dilarang dan harus sadar diri untuk tidak bepergian karena sangat berisiko tinggi terutama untuk orang lain," ucapnya.
Karena itu, dia mendesak pemerintah membuat regulasi untuk membatasi pergerakan terutama menjelang musim libur lebaran 2021.
"Imbauan saja tidak cukup, harus disertai regulasi yang mendukung pembatssan pergerakan. Jadi bukan regulasi yang mendukung pelonggaran pembebasan pergerakan, karena ini serius sekali, ini pandemi belum terkendali," tandasnya.
Advertisement
Seberapa Besar Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi?
Keputusan pemerintah tidak melarang mudik lebaran 2021 dinilai akan membantu pertumbuhan ekonomi. Namun pemerintah harus bisa bertanggung jawab bahwa keputusan tersebut tidak akan menambah kasus positif Covid-19.
Hal tersebut disampaikan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira.
"Ada pasti ya (dampak terhadap pertumbuhan ekonomi) kalau pemerintah sudah percaya diri menyuruh kita mudik lebaran. Pada waktu mudik memang akan terjadi perputaran ekonomi, akan ada kenaikan tingkat transaksi ekonomi," kata Bhima saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (16/3/2021).
Keputusan pemerintah tidak melarang mudik lebaran akan mendorong konsumsi rumah tangga lebih tinggi, begitu pula dengan tingkat hunian hotel dan restoran. Selain itu juga akan menjadi pemasukan untuk PT Jasa Marga sebagai penyedia jalan tol.
"Juga biasanya sebelum lebaran atau mudik ada budaya pamer, jadi banyak yang membeli kendaraan baru dan baju baru," tuturnya.
Di sisi lain, pemerintah dinilai harus bisa mengendalikan penyebaran Covid-19 setelah mudik lebaran. Jangan sampai kasus positif justru meningkat setelahnya sehingga akan kembali memukul perekonomian.
"Maka itu yang harus disiapkan dengan baik bagaimana keputusan mudik ini harus punya tanggung jawab untuk mengendalikan pandemi pasca-mudiknya. Jangan sampai mengulang lagi kesalahan ketika terjadi adaptasi kebiasaan baru atau new normal pada bulan Juli-Agustus, sehingga orang sudah pede untuk keluar ternyata kasusnya naik lagi," kata Bima.
Jika kemungkinan ini tidak diantisipasi, maka nanti akan berdampak pada belanja kesehatan yang membengkak dan menurunkan kepercayaan masyarakat untuk kembali beraktivitas. Karena itu, keputusan pemerintah ini harus diiringi dengan tanggung jawab.
"Artinya pemerintah harus mempertanggungjawabkan kebijakan untuk memperbolehkan orang untuk mudik lebaran, termasuk mempersiapkan apabila ada lonjakan kasus positif," katanya menandaskan.
Hal senada juga disampaikan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah. Namun menurut dia, dampak kebijakan tersebut tidak akan besar terhadap perekonomian.
"Akan banyak masyarakat yang mudik merayakan hari raya. Konsumsi akan meningkat yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi tidak akan besar," kata Piter saat dihubungi Liputan6.com, Selasa.
Menurut Piter, hal ini disebabkan pandemi tetap akan membatasi aktivitas masyarakat meskipun mudik lebaran diperbolehkan. Belum lagi sebagian masyarakat dinilai masih terkendala daya beli.
"Yang terkena PHK meskipun dibebaskan mudik tidak akan menggenjot konsumsi untuk hari raya," ujarnya.
Kendati demikian, Piter menilai masih ada kemungkinan pemerintah akan mengubah keputusannya ini. Menurutnya, pemerintah pasti akan terus mempertimbangkan perkembangan Covid-19 menjelang Hari Raya Idul Fitri 2021.
"Keputusan belum bulat diambil. Pemerintah pasti akan mempertimbangkan perkembangan Covid-19 hingga menjelang hari lebaran. Saat itu, kita bisa menilai apakah melonggarkan mudik sudah bisa dilakukan atau belum," katanya menandaskan.