Kelompok Biksu Paling Disegani di Myanmar Minta Militer Hentikan Kekerasan

Para biksu berada di garis depan saat "Revolusi Saffron" 2007 melawan junta yang saat itu berkuasa di Myanmar.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 17 Mar 2021, 14:31 WIB
Ibu Khant Ngar Hein menangis saat pemakamannya di Yangon, Myanmar, Selasa (16/3/2021). Khant Ngar Hein, mahasiswa kedokteran berusia 18 tahun ditembak di dadanya di Tamwe, Yangon oleh pasukan keamanan selama protes anti-militer. (AFP/STR)

Liputan6.com, Yangon - Kelompok biksu dari agama Buddha yang paling disegani di Myanmar meminta junta militer mengakhiri kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Mereka juga meminta pihak terkait berhenti melakukan penyiksaan dan pembunuhan warga sipil tak berdosa yang menolak kudeta,

Seperti dikutip dari laman Channel News Asia, Rabu (17/3/2021), Komite Sahgha Maha Nayaka (Mahana) -- badan biksu Buddha tingkat tinggi yang ditunjuk pemerintah -- berencana untuk mengeluarkan pernyataan akhir setelah berkonsultasi dengan menteri urusan agama.

Para biksu berada di garis depan saat "Revolusi Saffron" 2007 melawan junta yang saat itu berkuasa di Myanmar, sebuah pemberontakan yang membantu membuka jalan bagi reformasi demokrasi.

Anggota Mahana tidak dapat dihubungi pihak media untuk dimintai komentar, tetapi sikap mereka dilaporkan menandakan keretakan dengan pihak militer yang kini berkuasa.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021 dan menahannya bersama anggota partai lainnya, yang menimbulkan kecaman internasional secara luas.

Lebih dari 180 pengunjuk rasa tewas ketika pasukan keamanan mencoba untuk menghancurkan gelombang demonstrasi.

Pada Selasa 16 Maret malam, pasukan keamanan melepaskan tembakan dan seorang pria berusia 28 tahun tewas dalam aksi demonstrasi di ibukota Yangon. Penonaktifan jaringan internet secara total menyulitkan verifikasi informasi dan sangat sedikit orang di Myanmar yang memiliki akses ke Wi-Fi.

Saksikan Video Berikut Ini:


Reaksi Internasional

Para pengunjuk rasa mengambil bagian dalam demonstrasi menentang kudeta militer di Myitkyina di negara bagian Kachin Myanmar (8/3/2021). Bentrokan warga anti kudeta militer dengan aparat keamanan Myanmar masih terus berlangsung. (AFP/STR)

Prancis mengatakan Uni Eropa akan menyetujui sanksi terhadap mereka yang berada di balik kudeta.

"Para jenderal telah melakukan tindakan pengkhianatan setiap hari. Mengambil apa yang mereka inginkan untuk diri mereka sendiri, menyangkal hak-hak rakyat dan menindas mereka yang menghalangi mereka," katanya pihak Prancis.

Open Society Foundation, sebuah organisasi filantropi yang didirikan oleh miliarder George Soros, pada Selasa 16 Maret, turut menyerukan pembebasan segera seorang anggota staf-nya yang ditahan di Myanmar.

Media pemerintah di Myanmar melaporkan bahwa pihak berwenang telah menahan seorang pejabat dari Open Society Myanmar dan sedang mencari 11 karyawan lainnya karena dicurigai kelompok tersebut memberikan dana kepada penentang kekuasaan militer.

Militer mengatakan pihaknya mengambil alih kekuasaan setelah tuduhan kecurangan dalam pemilu 8 November yang dimenangkan Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi ditolak oleh komisi pemilihan. Pihaknya berjanji akan menggelar pemilu baru tapi belum menetapkan tanggal.

Aung San Suu Kyin (75) ditahan sejak kudeta dan menghadapi berbagai tuduhan termasuk mengimpor radio walkie-talkie secara ilegal dan melanggar protokol Virus Corona COVID-19 oleh pihak militer.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya