Liputan6.com, Jakarta Seorang pria gay dan lajang bernama Pablo Fracchia yang tinggal di Argentina berhasil mengadopsi seorang anak perempuan. Ia memiliki impian menjadi seorang ayah, namun statusnya sebagai gay membuatnya sulit untuk mewujudkan hal itu.
Baca Juga
Advertisement
"Tetapi, saya menyadari bahwa saya gay, dan tumbuh di tahun 90-an. Memikirkan memiliki keluarga sebagai pria gay adalah hal yang mustahil di Argentina," kata Pablo seperti dikutip dari BrightSide, Rabu (17/03/2021). Di negaranya, komunitas LGBTQ+ masih memperjuangkan hak-hak mereka.
Pada tahun 2019, Pablo berhasil memenangkan adopsi dari empat pasangan lain. Menurut Pablo, jalannya dalam memperjuangkan adopsi itu sangat rumit. Ia harus mengatasi kesulitan itu sendiri demi membangun keluarga bersama seorang anak perempuan yang diadopsinya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Aktivis LGBTQ+
Pablo adalah seorang pekerja sosial, relawan Palang Merah, dan aktivis LGBTQ+. Selama hidupnya, ia memiliki impian menjadi seorang ayah. Namun, ia sangat dilema antara mengejar mimpinya atau tetap menjadi gay.
"Sangat kejam bagi seorang remaja yang harus memilih antara menjadi dirinya sendiri atau melepaskan salah satu mimpinya," ungkap Pablo. Sebagai aktivis LGBTQ+, ia bekerja sama dengan Federasi LGBTQ+ Argentina untuk memperjuangkan pernikahan yang setara.
Advertisement
Sempat Melupakan Impiannya
Pablo sebelumnya pernah melupakan impiannya, namun mimpi itu kembali muncul. "Ide memiliki keluarga yang sudah lama hilang, terutama memiliki anak, perlahan kembali muncul di benak saya," kata Pablo.
Di tahun 2017, setelah melalui terapi dan berpikir ulang, ia memutuskan untuk mengejar impiannya. Pablo lalu mengatasi semua ketakutan dan ketidakpastian yang dimilikinya.
"Seperti yang selalu saya katakan, saat keinginan mengalahkan ketakutan, saya memutuskan untuk maju dan mengisi dokumen untuk memulai proses adopsi," tuturnya.
Bersaing dengan Empat Pasangan
Menurut Pablo, proses adopsi di Argentina membutuhkan waktu yang cukup lama. Di provinsi asalnya, orang yang memilih orang tua dan memutuskan apakah mereka mendapatkan hak adopsi atau tidak adalah hakim keluarga.
"Semuanya tergantung pada hakim apakah ia orang yang sensitif, terbuka, atau cukup inklusif untuk berpikir bahwa pria gay lajang dapat menjadi orang tua yang baik untuk seorang anak," ungkap Pablo.
Dalam proses adopsi pada tahun 2019, ia bersaing dengan empat pasangan yang akan dievaluasi oleh pengadilan untuk menjadi orang tua baru. "Saya pikir saya memiliki sedikit kesempatan untuk dipilih," katanya. Pada akhirnya, ia berhasil menerima adopsi itu dan hakimnya cukup objektif dalam mengambil keputusan.
Advertisement
Bertemu Mia di Rumah Sakit
"Keesokan harinya, saya pergi ke rumah sakit untuk menemuinya (anak yang akan diadopsi). Saya belum pernah melihatnya, bahkan di foto," tuturnya. Anak itu bernama Mia berusia 1 tahun 10 bulan. Menurut Pablo, Mia memiliki gangguan gastrointestinal yang membutuhkan perawatan.
Ia telah ditinggal keluarga kandungnya di rumah sakit selama setahun karena tidak mampu merawatnya. Pablo diantar oleh perawat ke ruangan tempat ia dan Mia bertemu.
"Kami berpelukan untuk waktu yang lama. Beberapa menit kemudian, Mia menunjuk ke sebuah mainan dan memainkannya. Ia agak mengangguk kepada saya untuk mengajak saya masuk dan bergabung dalam permainan," kata Pablo.
Berhenti Menjadi Relawan
Setelah menjadi seorang ayah bagi Mia, Pablo harus meninggalkan kegiatannya sebagai relawan Palang Merah dan misi kemanusiaan lainnya. Alasannya karena ia dan Mia akan tinggal jauh dari rumah dalam waktu yang lama.
"Menjadi sukarelawan Palang Merah adalah bagian penting dari diri saya. Saya telah menghabiskan beberapa tahun dalam hidup sebagai sukarelawan," kata Pablo.
Menurutnya, nilai dan prinsipnya berhasil membentuk dirinya sebagai seorang pria. "Ide untuk meninggalkan organisasi itu sangat sulit tetapi sepadan, dan saya ingin melakukannya lagi," tuturnya.
Penulis:
Syifa Aulia
UPN Veteran Jakarta
Advertisement