Sekjen KKP Antam Novambar Batal Hadiri Panggilan KPK

Antam diduga menerima perintah dari mantan Menteri KKP Edhy Prabowo untuk membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan Bank (Bank Garansi) dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (

oleh Fachrur Rozie diperbarui 17 Mar 2021, 19:51 WIB
Gedung KPK (Liputan6/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (Sekjen KKP) Antam Novambar tak memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Antam meminta tim penyidik menjadwalkan ulang pemeriksaannya.

Semestinya, Antam akan dimintai keterangan seputar kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster atau benur di KKP. Pemeriksaan Antam dilakukan untuk melengkapi berkas penyidikan mantan Menteri KKP Edhy Prabowo.

"Saksi Antam Novambar. Yang bersangkutan konfirmasi secara tertulis tidak dapat hadir karena sedang melaksanakan kegiatan dinas luar kota yang telah terjadwal sebelumnya," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (17/3/2021).

Terkait pemeriksaan Antam diduga untuk menyelisik soal penyitaan uang tunai Rp 52,3 miliar dalam kasus ini.

Antam diduga menerima perintah dari mantan Menteri KKP Edhy Prabowo untuk membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan Bank (Bank Garansi) dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).

Selanjutnya Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima Bank Garansi tersebut. Padahal, menurut Ali, aturan penyerahan jaminan bank tersebut tak pernah ada.

"Aturan penyerahan jaminan bank dari para eksportir sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benih bening lobster tersebut diduga tidak pernah ada," kata Ali.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Suap Izin Ekspor Benur

Dalam kasus ini KPK menjerat Edhy Prabowo dan enam tersangka lainnya. Mereka adalah Safri (SAF) selaku Stafsus Menteri KKP, Siswadi (SWD) selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo, Ainul Faqih (AF) selaku Staf istri Menteri KKP, Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Stafsus Menteri KKP, Amiril Mukminin (AM) selaku sespri menteri, dan Suharjito (SJT) selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP).

Edhy diduga telah menerima sejumlah uang dari Suharjito, chairman holding company PT Dua Putera Perkasa (DPP). Perusahaan Suharjito telah 10 kali mengirim benih lobster dengan menggunakan jasa PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

Untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aero Citra Kargo dengan biaya angkut Rp 1.800/ekor. Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy.

Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK  menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri. Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.

Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyita Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp 750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.

Edhy diduga menerima uang Rp 3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima USD 100 ribu yang diduga terkait suap. Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp 9,8 miliar.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya