Penjelasan Mantan Bos BEJ Terkait Kenaikan Imbal Hasil Obligasi AS

Mantan Direktur Utama BEJ periode 1991-1996 Hasan Zein menuturkan, yang membawa kembali dolar Amerika Serikat ke dalam negerinya bukan imbal hasil obligasi 1,74 persen per tahun.

oleh Agustina Melani diperbarui 20 Mar 2021, 16:37 WIB
Ilustrasi obligasi (Foto:Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Utama Bursa Efek Jakarta (BEJ) periode 1991-1996 Hasan Zein menyampaikan pandangannya mengenai kenaikan imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS).

Saat ini, imbal hasil obligasi AS menjadi perhatian seiring meningkatkan kekhawatiran inflasi dan suku bunga seiring pemulihan ekonomi. Hal itu membuat imbal hasil obligasi meningkat. Imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun di kisaran 1,73 persen.

Hasan menuturkan, seluruh kebijakan-fiskal dan moneter di Amerika Serikat, nampaknya difokuskan pada upaya perbaikan ekonomi dan kesempatan kerja.

Hasan mengatakan, hal tersebut menyusul paket jumbo, USD 1,9 triliun, paket terbesar sepanjang sejarah AS - yang lolos beberapa waktu lalu. Di sisi lain, sidang FOMC The Fed pada 16-17 Maret 2021 menunjukkan sikap yang sangat dovish.

The Fed menyatakan dengan tegas tidak akan menaikkan tingkat bunga hingga 2023. Hasan menilai, otoritas moneter AS, akan membiarkan saja inflasi naik di atas target 2 persen. Bank Sentral AS juga akan menunggu perbaikan signifikan di pasar tenaga kerja, sebelum mempertimbangkan kenaikan tingkat bunga.

"Akibatnya, yield treasury terus merambat naik. Pada saat celoteh ini diketik  - pukul 19:45 - Yield 10 year bertengger di angka 1, 747 persen. kenaikan lebih dari 10 persen dari penutupan pasar kemarin (17 Maret 2021-red),” ujar dia, dikutip dari catatannya, ditulis Sabtu (20/3/2021).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Dampak Kenaikan Imbal Hasil Obligasi

Hasan mengatakan, yield akan mengikuti angka inflasi. "Ketika inflasi 2 persen, siapa sudi membeli dan memiliki surat utang dengan imbal hasil di bawah itu? Negative real rate,"kata dia.

Hasan mengatakan, kenaikan yield akan memukul pasar saham. Pertama, Angka 1,747 persen itu sudah lebih tinggi dari rata rata dividend yield saham saham yang tergolong dalam S&P 500.  Kedua, akan terjadi rotasi portfolio dari growth oriented stocks ke more defensive stocks. Saham-saham teknologi akan terpukul. Ketiga, naiknya yield akan jadi pupuk penguatan dolar Amerika Serikat.

"Di dalam negeri kita harus mewaspadai dampak yang tidak menyenangkan. Pertama pelemahan rupiah. Kedua, pelemahan rupiah memicu capital outflows. Pull back dalam jumlah signifikan akan memperngaruhi harga saham. Ketiga, biaya dana dalam valas akan naik,” ujar dia.

Meski demikian, Hasan menilai, ada potensi aliran dana asing masuk seiring jarak lebar antara imbal hasil obligasi AS dan surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun.

“Pada tingkat imbal hasil SUN 10 tahun saat ini, sekitar 6,9 persen, sebenarnya differential interest rate secara nominal masih cukup lebar. Lebih dari 5 persen. Tapi spread yang lebar itu - yang menjadi daya tarik masuknya dana asing, inflows - akan segera lenyap tergerus pelemahan rupiah,” ujar dia.

"Ada yang bertanya, kepada saya: "Masa sih pak kenaikan 10 basis points saja sudah berdampak begitu besar?" Sebagai investor kita musti sadar bahwa kenaikan yield 10 persen itu, artinya surat utang pemerintah Federal AS itu bisa dibeli pada harga 10 persen lebih mura,” ia menambahkan.

Hasan mengatakan, yang membawa kembali dolar Amerika Serikat ke dalam negerinya bukan imbal hasil 1,747 persen per tahun. "Akan tetapi,  capital gain yang akan diperoleh saat pelunasan obligasi. Atau saat harga obligasi tersebut naik kembali bila yield kembali ke tingkat semula,” ujar dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya