Liputan6.com, Jakarta - Desakan agar pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi Undang-Undang terus bergulir. Hal tersebut disuarakan Yulianti Muthmainah, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta.
Yanti mengatakan ada dua hal yang kemungkinan terjadi jika RUU PKS disahkan menjadi Undang-Undang. Pertama, perempuan yang berani melaporkan kasus terhadap kekerasan seksual yang dialaminya tentu akan meningkat.
Baca Juga
Advertisement
"Karena ada perlindungan hukum dan itu perlu kita apresiasi, sebagai mana Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan UU tentang trafficking," ujar Yanti dalam 'Jurnalis Workshop: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual dan Pentingnya Pengesahan RUU PKS untuk Melindungi Warga Negara Indonesia dari Kekerasan Seksual' yang diselenggarakan oleh The Body Shop Indonesia, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) ,dan IDN Times, Jumat (20/3/2021).
Kedua, ketika pelaporan terjadi, maka akan ada perlindungan bagi korban. Selama ini, kata Yanti, tidak ada perlindungan bagi korban.
"Korban pasti terseok-seok. Selama ini korban itu sangat minim dukungan. Kita tidak punya perlindungan sosial bagi korban kekerasan seksual, bahkan Visum et repertum yang seharusnya gratis berubah menjadi berbayar. Dalam kartu BPJS itu tdak berlaku dan minimnya perlindungan korban," ujar Yanti.
Oleh karena itu, Yanti mengatakan pentingnya pengesahan RUU PKS. Dalam pandangan Yanti, RUU tersebut poinnya ada dua.
"Pertama, masyarakat akan tahu bentuk-bentuk kekerasan seksual dan melindungi semua orang agar tidak menjadi korban dan pada saat yang sama tidak menjadi pelaku dalam keluarganya," ujarnya.
Kedua, sambung Yanti, perlindungan korban. Selama ini korban minim dukungan, korban selalu disalahkan, korban tidak mendapatkan hukuman yang adil.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Empati pada Korban
Sementara itu, psikolog dari Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi mengungkapkan bahwa dalam RUU PKS lebih jelas tentang penjabaraannya soal kekerasan seksual.
"Kalau disahkan, maka akan membuat orang tambah yakin untuk melapor terhadap kekerasn yng dialaminya. Dengan adanya UU PKS nanti akan membantu proses pemulihan korban dan orang akan lebih berempati pada korban," ujar Ika.
Kampanye penghapusan terhadap kekerasan harus terus ditingkatkan. Pelibatan-pelibatan terhadap stakeholder lain pun perlu didorong, seperti tokoh-tokoh agama, karena suara-suara mereka cukup didengar oleh masyarakat.
"Salah satunya tentang pengajian mengenai gender dalam Islam," kata Program Officer International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Megawati.
Dalam kesempatan itu, Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis mengatakan bahwa pemberitaan media jangan sampai memberikan dampak negatif, menyusahkan, dan menempatkan korban kekerasan seksual jadi korban yang kedua, baik setelah diberitakan maupun maupun di masa depannya. Apa lagi saat ini era digital, maka akan ada jejak digitalnya.
"Jadi sebaiknya, kita yang paling tahu tentang kekerasan seksual, karena itu tidak kita tampilkan, meskipun yang bersangkutan merasa ikhlas, rela. Itu mungkin karena dia tidak memikirkan dampaknya. Kita harus fokus kepada bagaimana modus operandinya, tanpa mengeksploitasi detail-detailnya," tandas dia.
Advertisement