Liputan6.com, Jakarta Masnu'ah (47 tahun) menitikkan air mata saat mengenang perjalanan sulitnya memperjuangkan identitas perempuan nelayan. Perempuan nelayan yang sama lelah dan beresikonya seperti nelayan laki-laki, namun tidak mendapat pengakuan yang pantas dari hampir seluruh pihak kala itu.
Sebagai pendiri Komunitas Perempuan Nelayan (KPN) Puspita Bahari, Masnu'ah bersama rekan sejawatnya fokus memberdayakan para perempuan nelayan di Desa Morodemak, Demak.
Advertisement
Salah satu fokusnya berada di sentra penangkapan ikan yang melibatkan setidaknya 32 orang perempuan nelayan.
Perjuangan Masnu'ah dimulai ketika pada 2013, terdapat satu orang perempuan nelayan bernama Sutinah yang hendak diperjuangkan identitasnya.
"Awalnya kami mencoba mengadvokasi 1 nelayan perempuan, itu tahun 2013. Tapi, usaha itu gagal karena katanya, perempuan tidak pantas dianggap nelayan. Kasihan. Padahal kalau kasihan, ya, harusnya lindungi mereka lah. Kalau kasihan, ya, fasilitas hak mereka dan perlindungan mereka," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (21/3/2021).
Tiga tahun berselang, Masnu'ah kembali bertekad memperjuangkan hak perempuan nelayan ini. Dirinya menemukan puluhan perempuan nelayan lainnya yang mengalami nasib sama.
Agak sulit mengajak mereka pada awalnya, karena menyandang status nelayan, bagi seorang perempuan, juga dianggap sebagai hal yang hina.
"Bahkan kalau perempuan itu ikut melaut sama suaminya, kalau ketemu kapal lain di laut, mereka tidak boleh terlihat. Harus sembunyi," ujarnya.
Perjuangan Dimulai
Dirinya melakukan edukasi yang matang kepada para perempuan nelayan hingga mereka memahami maksud dan tujuan perubahan status mereka.
Setelahnya, dengan mantap, Masnu'ah melangkahkan kaki ke kantor Kepala Desa, meskipun Kepala Desa tidak menyetujui perubahan status tersebut.
Sampai pada suatu ketika, salah seorang kawan, orang kepercayaan Gubernur, melakukan intervensi untuk perubahan status tersebut kepada lurah setempat. Hasilnya, sang lurah berkenan memberi status pekerjaan, dengan tambahan 'buruh' di depannya.
Belum cukup hambatan yang dihadapi Masnu'ah, usahanya meminta status dan pengakuan para perempuan nelayan mendapat olokan dan hinaan di DPRD Jawa Tengah.
"Mereka bilang, 'perempuan itu kalau melaut hanya membantu, bukan bekerja'. Saya tanya ke mereka, ke anggota DPRD perempuan, 'Bu, ibu di sini jadi DPRD hanya membantu atau bekerja? Mereka ngomong agama, dakwah-dakwah dipelintir. Saya menangis di situ," ujarnya.
Hingga pada akhirnya, salah satu dokumenter tentang perjuangannya bersama KPN Puspita Bahari tayang di televisi.
Hal ini membuat sang Lurah menyelesaikan pemberkasan dan memberi status "nelayan" kepada 32 perempuan nelayan tersebut.
"Akhirnya 32 perempuan nelayan itu mengurus perubahan KTP di desa. Kami menangis, terharu. Bahagia, rasanya perjuangan kami tidak sia-sia," ujar Masnu'ah.
Advertisement
Buah Perjuangan
Tidak hanya itu, Masnu'ah juga ikut andil dalam memastikan para perempuan nelayan ini mendapatkan asuransi nelayan yang harus mereka terima.
Lelah, air mata dan rasa bahagia menjadi makanan sehari-hari Masnu'ah di KPN Puspita Bahari. Nyatanya, memberdayakan masyarakat, apalagi perempuan, tidak semudah berbicaranya.
Meski letih, perjalanan Masnu'ah menjadi bukti, sekecil apapun usaha akan membuahkan hasil nyata yang dampaknya dapat dirasakan dan tak akan pernah habis.
"Ini sudah seperti panggilan. Dan KPN Puspita Bahari lahir dari persoalan. Perempuan yang tidak dipenuhi haknya, perempuan yang mengalami kekerasan. Kami ingin mereka berani memperjuangkan hak mereka," tutur Masnu'ah mengakhiri percakapan.