Liputan6.com, Hanoi - Vietnam telah dipuji sebagai salah satu negara yang menjadi contoh sukses dalam mengatasi pandemi COVID-19. Namun, ada wabah lain di negara tersebut yang telah melandanya selama bertahun-tahun -- suara karaoke yang menganggu saraf bagi yang terpaksa untuk mendengarkannya.
Dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Senin (22/3/2021), pada November tahun lalu di Hanoi, pengguna media sosial menyatakan simpati ketika ada seseorang yang ditangkap karena melemparkan bom bensin ke tetangganya yang terus menyalakan lagu-lagu karaoke walaupun sudah ada keluhan.
Advertisement
Selain insiden tersebut, pada Oktober 2019 seorang pria di pusat kota Hue menikam tetangganya dengan bantuan dua temannya karena ia tidak mengecilkan suara karaokenya. Pada tahun yang sama di bulan Maret, terjadi penikaman juga dengan alasan karaoke terlalu kencang di provinsi Ben Tre.
Di Vietnam, pesta karaoke sering menjadi serangan terhadap orang lain yang dapat memprovokasi mereka untuk melakukan kekerasan ekstrem seperti contoh-contoh di atas.
Karena banyaknya kasus, para akademisi dan politisi bergabung dengan warga untuk membuat tindakan di seluruh Asia Tenggara.
Kelvin Seah Kah Cheng, seorang dosen ekonomi senior di National University of Singapore, menulis sebuah opini di situs Channel News Asia yang menyerukan masyarakat untuk mengecilkan volume karaoke -- terutama di rumah selama adanya batasan karena COVID-19.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Menjadi Perhatian Pemerintah
Gubernur provinsi Cavite di Filipina, Jonvic Remulla, menggungah di akun Facebooknya September lalu mendesak masyarakat untuk melaporkan penyanyi karaoke yang bersuara terlalu keras kepada pihak berwenang.
Di Kota Ho Chi Minh, Nguyen Thanh Phong, ketua kota tersebut, mengatakan dalam rapat dewan kota bulan lalu bahwa ia menerima banyak keluhan dari penduduknya tentang polusi suara karaoke, terutama setelah jam 10 malam. Ia meminta agar pemerintah daerah untuk mengambil tindakan atas hal tersebut.
Sekarang, pemerintah kota mengatakan akan mengakhiri polusi suara karaoke tahun ini dengan kampanye kesadaran yang akan berlangsung hingga Mei serta penertiban tiket para pelanggar.
Sebuah studi pada tahun 2017 oleh National Institute of Occoputional and Environmental Health menemukan bahwa antara 10 dan 15 juta warga Vietnam dari total populasi 96 juta secara teratur terpapar kebisingan yang berlebihan.
Menurut studi tersebut, tingkat kebisingan di kota mertropolitan Hanoi dan Kota Ho Chi Minh, secara signifikan melampaui tingkat aman 70 desibel.
The World Health Organization (WHO) memiliki pedoman tentang manajemen kebisingan yang mengatakan harus ada tindakan untuk melindungi kesehatan masyarakat walaupun tidak ada bukti ilmiah lengkap di mana ada kemungkinan yang masuk akal bahwa kesehatan masyarakat akan rusak dengan cara gangguan pendengaran, gangguan tidur, gangguan bicara, atau hanya gangguan.
Saat ini, ada dua peraturan terhadap pencemar kebisingan. Yang pertama, dikeluarkan pada 2013, menyatakan bahwa pelanggar kebisingan dapat dihukum dengan denda mulai dari hampir 60 ribu rupiah hingga hampir 200 ribu rupiah. Namun, para kritikus mengatakan hukuman tersebut terlalu kecil dan jarang ditegakkan.
Aturan kedua juga berlaku tiga tahun kemudian pada 2016 yang menghukum pelanggar berdasarkan tingkat desibelnya dengan denga hingga hampir 100 juta rupiah.
"Dalam jangka panjang, saya merekomendasikan bahwa undang-undang terpisah tentang manajemen kebisingan harus dibuat," kata Nguyen Cong Thanh, kepala fakultas studi lingkungan, perubahan iklim dan perkotaan di National Economincs University di Hanoi.
Reporter: Paquita Gadin
Advertisement