Liputan6.com, Jakarta Ketua Satgas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban meminta agar pemerintah memastikan tak ada diskriminasi bila kebijakan sertifikat vaksinasi COVID-19 untuk bepergian berlaku. Dalam hal ini, tak ada diskriminasi terhadap orang yang belum divaksin.
"Jika memang kebijakan sertifikat (vaksinasi COVID-19) ini lahir (berlaku), perlu juga dipastikan tidak ada diskriminasi untuk orang-orang yang tidak bisa divaksin," terang Zubairi melalui cuitan akun Twitter pribadinya, ditulis Senin, 22 Maret 2021.
"Misalnya, orang dengan penyakit akut kronik atau belum terkendali (gejala penyakitnya). Kebijakan itu harus adil juga untuk mereka."
Advertisement
Menurut Zubairi, wacana sertifikat vaksinasi COVID-19, terutama dipergunakan sebagai syarat perjalanan atau bepergian termasuk menarik. Walau begitu, butuh analisis lebih rinci mengenai rentang waktu seseorang terlindungi dari virus Corona usai divaksin.
"Ini wacana menarik. Bayangan saya, calon penumpang pesawat harus menunjukkan sertifikat vaksin pada bagian kontrol dan tak ada lagi testing (pemeriksaan) atau karantina pada saat kedatangan," jelasnya.
"Padahal, kita belum tahu, sejauh mana vaksin mencegah penerimanya untuk menularkan virus Corona. Sebab itu, sebelum muncul kebijakan ini (sertifikat vaksinasi COVID-19), kita harus tahu dulu, kapan orang itu akan terlindungi dari infeksi setelah divaksinasi."
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Belum Ada Kepastian Penerima Vaksinasi COVID-19 Tidak Tularkan Virus Corona
Zubairi Djoerban menekankan, hingga saat ini belum ada kepastian penerima vaksinasi COVID-19 tidak menularkan virus Corona. Oleh karena itu, penggunaan sertifikat vaksinasi COVID-19 memang harus dipertimbangkan matang.
"Apakah jika sekarang divaksin, besoknya kebal? Kan tidak. Seminggu? Belum juga. Sebulan? Itu baru muncul kekebalan yang lumayan. Makanya, harus diperhitungkan dengan rigid (baku), kalau mau dibuat kebijakan ini," paparnya.
"Amannya, ya dua bulan setelah divaksin yang pertama atau minimal dua minggu setelah vaksin yang kedua—baru si penerima vaksin cukup terlindungi dari COVID-19. Yang jelas, belum ada kepastian, apakah penerima vaksin itu tidak menularkan virus ke orang."
Di sisi lain, Zubairi menyoroti, kekebalan dari vaksin COVID-19 akan terbentuk, tetapi sejumlah ahli menduga virus Corona masih bisa menular. Maka dari itu, protokol kesehatan (prokes) tetap harus dijalankan.
"Memang, tubuhnya terlindungi dan kebal. Namun, di sekitar mulut dan hidung, beberapa ahli menduga, masih ada virus yang bisa menular ke orang lain. Artinya, prokes harus tetap dianut," katanya.
Advertisement
Pertimbangan Penggunaan Sertifikat Vaksinasi dari Vaksin AstraZeneca
Perihal sertifikat vaksinasi COVID-19, menurut Zubairi Djoerban, juga perlu ada pertimbangan terhadap orang yang disuntik vaksin AstraZeneca. Protokol kesehatan pun tetap dipatuhi.
"Kenapa prokes tetap dianut? Karena masih ada kemungkinan-kemungkinan penularan. Misalnya, virus Corona Afrika Selatan dimungkinkan bisa menginfeksi orang yang telah divaksinasi AstraZeneca," ujarnya.
"Vaksin ini kan sudah terbukti tidak bisa melindungi varian dari Afrika Selatan. Didasari itu, penerbangan pesawat dari Indonesia ke Afsel atau sebaliknya, harus lebih diperhatikan. Sebab, kalau pakai sertifikat vaksin AstraZeneca ya jadi tidak ampuh."
Berbeda dengan vaksin Sinovac, yang masih bisa melawan varian virus Corona asal Inggris dan Afrika Selatan.
Selain itu, ada hal yang harus dipahami. Bahwa virus Corona bisa menular ketika seseorang tidak sakit atau bahkan tidak tahu sedang mengidapnya (terpapar).
"Ini dikenal sebagai transmisi asimtomatik. Nah, vaksin membantu mengatasi masalah ini. Vaksin membantu dalam hal apa? Ya, mencegah Anda menjadi sakit parah jika Anda tertular COVID-19, sehingga tidak membebani sistem kesehatan," imbuh Zubairi.
Infografis Vaksin Sinovac Boleh Digunakan dan Halal
Advertisement