Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menolak pleidoi atau nota pembelaan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra. Djoko Tjandra merupakan terdakwa suap pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA) dan suap pengurusan red notice.
Jaksa menyampaikan hal tersebut dalam sidang lanjutan perkara ini dengan agenda pembacaan replik atas tanggapan pleidoi dari Djoko Tjandra.
Advertisement
Terkait dengan pengurusan fatwa MA, jaksa menyebut Djoko Tjandra bukan korban penipuan seperti pleidoi yang disampaikan Djoko Tjandra pada Senin, 15 Maret 2021. Dalam pleidoi, Djoko Tjandra menyebut dirinya sebagai korban penipuan yang dilakukan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya.
Menurut jaksa, berdasarkan keterangan dan barang bukti dalam persidangan terungkap jika pertemuan yang dilakukan Djoko Tjandra dengan Pinangki dan Andi Irfan Jaya bertujuan untuk mengurus fatwa MA agar dirinya tak dieksekusi dalam perkara korupsi hak tagih Bank Bali.
"Terlihat jelas kesamaan kehendak yang menjadi kesepakatan antara terdakwa dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan jaya. Bahkan terdakwa juga meminta untuk dibuatkan proposal agar terdakwa mengetahui langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan dalam rangka meminta fatwa MA," ujar jaksa di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (22/3/2021).
Selain itu, jaksa juga meyakini adanya biaya yang disetorkan Djoko Tjandra untuk pengurusan Fatwa MA melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) ini. Penyetoran uang tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan adanya action plan.
Action plan ini yang kemudian membuat Djoko Tjandra membayar USD 500 ribu dari komitmen fee USD 1 juta. Pembayaran dilakukan Djoko Tjandra melalui adik iparnya bernama Herriyadi Angga Kusuma.
"Sehingga kami berpendapat bahwa pembelaan yang menyatakan terdakwa sebagai korban penipuan sangat tidak mendasar, sehingga harus di kesampingkan," kata jaksa.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tuntutan Jaksa
Diketahui, jaksa menuntut Djoko Tjandra dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan. Djoko Tjandra menghadapi tuntutan dalam dua kasus sekaligus, yakni terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
Jaksa menilai Djoko terbukti telah menyuap dua jenderal polisi terkait pengecekan status red notice dan penghapusan namanya dari Daftar Pencarian Orang (DPO) di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Djoko melalui rekannya Tommy Sumardi memberikan uang kepada eks Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, sebanyak Sin$200 ribu dan US$370 ribu. Dia juga memberikan uang sebesar US$100 ribu kepada eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo.
Upaya tersebut dimaksudkan agar Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan. Ia berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
Selain itu, Djoko juga menyuap eks Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari, untuk pengurusan fatwa MA.
Fatwa itu dimaksudkan agar meloloskan Djoko dari hukuman MA dalam kasus korupsi hak tagih Bank Bali.
Djoko menyuap Pinangki dengan uang sebesar US$500 ribu. Jaksa menerangkan uang itu merupakan fee dari jumlah US$1 juta yang dijanjikan Djoko. Uang itu diterima Pinangki melalui perantara yang merupakan kerabatnya sekaligus politikus Partai NasDem, Andi Irfan Jaya.
Jaksa menyatakan bahwa Djoko juga terbukti melakukan pemufakatan jahat dengan Pinangki dan Andi Irfan Jaya dalam pengurusan fatwa MA. Jaksa berujar mereka menjanjikan uang US$10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
Advertisement