Kemnaker Ungkap 3 Risiko Bahaya Dialami Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit

Kelompok pekerja perempuan memiliki risiko bahaya lebih dalam melakukan segala aktivitas di lingkungan pekerjaan.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Mar 2021, 14:50 WIB
Seorang pekerja mengangkut cangkang sawit di atas rakit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Persyaratan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) S Junaedah mengakui kelompok pekerja perempuan memiliki risiko bahaya lebih dalam melakukan segala aktivitas di lingkungan pekerjaan. Khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit.

"Kami masih melihat banyak perempuan yang berpotensi terekspos pada sejumlah bahaya potensi dalam dunia kerja. Khususnya pada sektor perkebunan kelapa sawit," ungkapnya dalam webinar bertajuk Perlindungan Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit, Selasa (23/3).

Dia mengungkapkan, setidaknya ada tiga risiko bahaya yang kerap mengintai pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit. Pertama, risiko bahaya terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

"Terdapat beragam risiko yang berpotensial bagi pekerja perempuan dari bahaya pelanggaran K3. Seperti terbatasnya fasilitas keselamatan diri, jam kerja panjang, hingga tidak adanya cuti libur yang diberikan dan lainnya," ucapnya.

Kedua, bahaya terkait Kesehatan Reproduksi. Sebab, masih terdapatnya oknum manajemen perusahaan dengan tidak memperdulikan hakikat seorang wanita yang kerap melalui fase reproduksi seperti haid dan hamil.

"Jadi, pekerja perempuan ada yang tidak diperbolehkan menggunakan cuti haid ataupun istirahat melahirkan," terangnya.

Terkahir, Pelecehan dan Kekerasan Berbasis Gender. Menurutnya, praktik ini terjadi lantaran masoh adanya anggapan posisi lemah yang dimiliki oleh pekerja perempuan.

Dia menyebut, berbagai risiko yang menimpa korban pekerja perempuan ini lebih disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan atas informasi pemenuhan hak-hak pekerja. "Jadi, banyak pihak belum mengetahui kegiatan-kegiatan diskriminasi itu," terangnya.

Oleh karena itu, Kemnaker terus aktif mensosialisasikan berbagai aturan-aturan terhadap perusahaan dan pekerja terkait pemenuhan hak dan kewajiban. Tujuannya untuk mewujudkan iklim kerja yang kondusif dan non diskriminatif.

"Artinya, kita mengatur gar lingkungan kerja tidak diskriminatif. Praktek ini mulai dari rekrutmen, pelaksanaan pekerjaan di tempat kerja, pelatihan, hingga jaminan sosial dan pensiun," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Isu Pekerja Perempuan dan Anak jadi Alat Kampanye Negatif Sawit Indonesia

Sejumlah anak-anak orang rimba di wilayah Makekal Hilir, Kabupaten Tebo, Jambi, bermain di bawah pohon sawit, Rabu (18/11/2020). Kini kehidupan orang rimba semakin terdesak akibat masifnya deforestasi kawsan hutan. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memastikan persoalan ketenagakerjaan masih menjadi amunisi andalan untuk melakukan kampanye hitam terhadap industri kelapa sawit di kancah internasional. Khususnya terkait permasalahan yang menimpa kelompok pekerja perempuan dan anak.

"Jadi, masih banyak isu yang bernuansa kan ketenagakerjaan di sektor sawit yang kemudian menjadi alat untuk kampanye negatif," ungkapnya dalam webinar bertajuk Perlindungan Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit, Selasa (23/3).

Bos Gapki ini mengungkapkan, sorotan akan persoalan ketenagakerjaan terhadap kelompok perempuan dan anak sendiri pertama kali disorot oleh dunia internasional sejak 2016 lalu.

Saat itu, ada salah satu lembaga pemantau hak asasi manusia, Amnesty International yang mengendus adanya kerja paksa yang melibatkan anak-anak di perkebunan sawit.

"Itulah sebenarnya yang muncul 2016 kemudian beberapa isu lainnya muncul belakangan," terangnya.

Dia menambahkan, persoalan ketenagakerjaan lainnya yang menyedot perhatian internasional adalah pelecehan seksual terhadap pekerja sawit perempuan, yang kemudian kembali digunakan sebagai alat untuk melakukan kampanye negatif terhadap industri sawit. Sebagaimana yang ramai diberitakan kantor media asing pada 2020 lalu.

"Amerika, bahkan sempat melarang sawitnya Malaysia karena dianggap perkebunan kelapa sawit di Malaysia itu melakukan kerja paksa terhadap anak dan pelecehan," terangnya.

Oleh karena itu, Gapki bersama pemangku kebijakan terkait lainnya terus berbenah diri untuk mewujudkan sistem kerja di lingkungan industri dan perkebunan sawit yang lebih ramah terhadap kelompok perempuan dan anak. Sehingga pemenuhan hak terhadap dua kelompok pekerja rentan tersebut bisa lebih baik.

"Ini lah yang menjadi konsern kita di industri sawit Indonesia. Gapki sejak 3 tahun terakhir kita bekerja sama dengan CNV Internasional, Serikat Buruh Federasi Hukatan, bahkan ILO," ucap dia menekankan.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya