Perundingan Linggarjati dan Diplomasi Indonesia-Belanda 73 Tahun Lalu

Sebelum kesepakatan digelar di Linggarjati, Indonesia dan Belanda sudah beberapa kali melakukan pertemuan. Namun seringkali tidak mencapai titik temu.

oleh Ika Defianti diperbarui 25 Mar 2021, 07:44 WIB
Objek wisata Gedung Perundingan Linggarjati di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Liputan6.com, Jakarta - Setelah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih menjadi incaran Belanda untuk kembali dikuasi. Pasca proklamasi, pasukan Belanda yang tergabung dalam NICA (Netherlands-Indies Civiele Administration) kembali ke Tanah Air dengan membonceng pasukan Sekutu.

Untuk mempertahankan kemerdekaan, genjatan senjata hingga berbagai diplomasi pun dilakukan. Salah satunya yakni melalui Perjanjian Linggarjati.

Sebelum kesepakatan digelar di salah satu wilayah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat itu, Indonesia dan Belanda sudah beberapa kali melakukan pertemuan. Namun seringkali tidak mencapai titik temu.

Rushdy Hoesein dalam bukunya Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati menyatakan, perundingan di luar negeri pertama antara Indonesia dengan Belanda setelah merdeka diagendakan di Hoge Veluwe 14 April 1946. Namun agenda itu dianggap gagal dan tidak mencapai kesepakatan.

Setelah itu, perundingan antara kedua negara ini sempat terhenti beberapa bulan. Kemudian peluang kembali muncul saat pemerintah Inggris sebagai penanggung jawab penyelesaian konflik politik dan militer di Asia mendesak agar Indonesia dan Belanda kembali melakukan perundingan.

Tanggal 7 Oktober 1946, dibuka perundingan di Konsulat Jenderal Inggris Jakarta. Saat itu perundingan dipimpin oleh Lord Killearn.

Sedangkan Ketua delegasi RI adalah Sutan Sjahrir dan delegasi Belanda Schermerhorn. Dalam perundingan itu menghasilkan persetujuan gencatan senjata pada 14 Oktober 1946 hingga puncaknya 10 November 1946.

Lalu dilanjutkan dengan perundingan yang terjadi pada 11-14 November 1946 di Desa Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Berdasarkan laporan Tempo (9 Maret 2009), lokasi tersebut merupakan usulan dari Menteri Sosial kala itu, Maria Ulfa yang saat itu merupakan orang terdekat Sjahrir. Ayah Maria pernah menjabat sebagai Bupati Kuningan.

Kemudian secara kebetulan Bupati Cirebon, yang kala itu dipegang Makmun Sumadipradja merupakan sahabat Sjahrir. Perundingan yang berlangsung beberapa hari itu berlangsung alot, sebab terdapat 17 pasal yang dibahas.

Setelah perjanjian disepakati, kedua delegasi membawa rencana persetujuan ke masing-masing parlemen untuk disahkan. Republik Indonesia mengesahkan Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947.

Dalam Perundingan Linggarjati tersebut secara de facto Belanda mengakui eksistensi negara Republik Indonesia. Namun, hanya tiga wilayah Indonesia yang diakui, di antaranya Sumatera, Jawa, dan Madura.

Lalu, yang kedua Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam bentuk negara Indonesia Serikat, salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.

Selanjutnya Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.

 


Melihat Ruang Inap Para Delegasi

Objek wisata Gedung Perundingan Linggarjati di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Saat ini, gedung perundingan tersebut menjadi salah satu objek wisata sejarah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Di lahan seluas 2 hektare itu, Liputan6.com mencoba mengulas tentang ruang inap para delegasi dan riwayat gedung perundingan. Selama perundingan berlangsung, para delegasi menginap di dalam gedung tersebut.

Ada tersedia delapan kamar dengan masing-masing terdapat dua tempat tidur yang dilengkapi wastafel dan lemari. Delapan kamar itu posisinya saling berhadapan.

Lalu, delapan kamar para delegasi itu tidak disediakan kamar mandi dalam layaknya hotel yang ada seperti saat ini. Semua fasilitas yang tersedia di setiap kamar terbuat dari kayu jati.

Hanya saja, rata-rata tempat tidur yang dipamerkan saat ini merupakan duplikat yang sangat menyerupai aslinya.

Selain kamar tidur, terdapat ruangan khusus yang saat itu digunakan Presiden Sukarno untuk melakukan pertemuan dengan delegasi Belanda, Schermerhorn.

Ketua Pengelola Gedung Perundingan Linggarjati Saom menyebutkan, bangunan bersejarah tersebut sejatinya adalah Hotel Merdeka milik pemerintah Indonesia saat itu.

"Bisa dibilang hotel ini merupakan saksi sejarah perkembangan Indonesia maupun Kuningan. Karena pengelolaannya sejak zaman Belanda sampai Jepang sebelum perundingan Linggarjati digelar," ucap dia, Kamis (7/6/2016).

Sejatinya pada tahun 1918, gedung itu merupakan rumah milik warga bernama Jasitem. Namun pada 1921, gedung tersebut dirombak oleh warga berkebangsaan Belanda bernama Tersana (Mergen) yang juga suami dari Jasitem.

"Pada tahun 1930 dibangun permanen dan menjadi rumah tinggal Jacobus (Koos) van Os warga berkebangsaan Belanda," lanjut dia.

Masuk di tahun 1935, gedung ini dikontrak oleh warga berkebangsaan Belanda Heiker dan resmi menjadi hotel bernama Rustoord. Hingga pada tahun 1942, Hotel Rustoord diambil alih tentara Jepang dan diganti nama menjadi Hotel Hokay Ryokan.

"Nah tahun 1945 ketika Indonesia merdeka, hotel tersebut berhasil direbut oleh pejuang Indonesia dan diberi nama hotel Merdeka," ujar Saom.

Hingga memasuki tahun 1976, gedung tersebut resmi dikelola pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan museum.

"Saya tidak tahu kelanjutan pemilik asli gedung ini bagaimana. Sampai sekarang tidak ada kabarnya dan pemerintah sudah menganggap gedung ini sebagai bangunan cagar budaya dan milik negara," jelas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya