Liputan6.com, Jakarta - Dalam rapat paripurna yang berlangsung pada Selasa 23 Maret 2021, Ketua Baleg Supratman Andi Agtas menyampaikan laporan Baleg terkait pembahasan Program Legislasi Nasional (prolegnas) yang disetujui DPR dan Pemberintah. Ada 33 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, termasuk di antaranya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Pimpinan sidang, Sufmi Dasco Ahmad lantas menanyakan pada anggota persetujuan terkait laporan Baleg untuk penetapan Prolegnas RUU 2021.
Advertisement
"Apakah dapat menyetujui laporan Baleg mengenai penetapan Prolegnas 2021. Apakah bisa kita setujui?" tanya Dasco dan dijawab setuju oleh anggota DPR.
Ketuk palu pimpinan sidang paripurna itu mendapat apresiasi dari Komnas Perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mendorong agar RUU ini segera dibahas.
"Sudah saatnya dibahas dan ditetapkan. Kami berharap Baleg akan mengawal pembahasan ini dengan sungguh-sungguh dan memperhitungkan kepentingan korban sebagai yang utama," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu (24/3/2021).
Dia menampik kabar jika RUU PKS ini jadi celah melegalkan praktik yang bertentangan dengan agama. Karena memang konstruksi hukumnya berbeda.
"Jadi kita perlu memperbincangkan ini lebih lanjut. Sekarang ini kan sebenarnya draf terakhir dari Baleg masih ditunggu, karena harusnya keluar Baleg. Yang disebutkan waktu lalu saya pikir hanya perbedaan persepsi saja yang tidak berdasar, sepertinya ruang-ruang untuk mengkomunikasikannya harus lebih sering," terang dia.
Agar pandangan mengenai RUU PKS dapat selaras, Andy meminta semua pihak untuk menunggu dulu naskah terakhir dari Baleg RI. Sehingga semua bisa membacanya secara tepat dengan apa yang dituliskan.
"Kita harus percaya tidak mungkin Baleg akan menghalalkan zina, aborsi. Mari kita percayakan bahwa ada sebetulnya kebutuhan real yang harus bisa dijawab. Bisa jadi secara konsepsi kontruksi hukumnya berbeda antara kekerasan seksual dan pelanggaran kesusilaan. Mencampurkan dua konsepsi ini justru membuyarkan perhatian kita dari korban," ucap dia.
Andy menjelaskan hal paling krusial untuk menyelamatkan perempuan Indonesia yang terkandung dalam RUU PKS tersebut. Pertama, kata dia, pencegahan dari kekerasan seksual akan menjadi lebih optimal.
"Kedua tentunya dukungan untuk upaya pemulihan dan memastikan jurang-jurang hukum yang dulunya ada seperti definisi yang tidak cukup, pengalaman perempuan dan korban kekerasan seksual yang tidak termaktub, maupun terobosan hukum acara. Sehingga dukungan untuk korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan juga pemulihan menjadi lebih kuat," jelas Andy.
Komnas Perempuan mendorong DPR membahas RUU tersebut dan selanjutnya disahkan menjadi undang-undang. Sehingga dapat memberikan perlindungan maksimal kepada korban kekerasan.
"Segera dibahas, ditetapkan bisa kita implementasikan untuk sebaik-baiknya untuk kepentingan korban," kata dia.
Andy mengungkapkan, usulan aturan ini berbasiskan data yang dikumpulkan hampir lima tahun. Karenanya dia meyakini, RUU PKS ini akan menjawab permasalahan korban kekerasan terhadap perempuan.
"Jadi kalau ditanyakan secara konsepsi, kami sungguh yakin bahwa dia bisa menjawab kebutuhan dari perempuan korban kekerasan seksual. Dan juga secara teoritis, kelompok rentan mendapatkan perlindungan maka kelompok lainnya juga akan diuntungkan dan diutamakan, dalam hal ini artinya RUU PKS juga berfaedah bagi laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual," terang dia.
Pandangan berbeda disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah. Dia menilai pembahasan RUU PKS belum diperlukan untuk saat ini.
"Soal RUU PKS ini sebenarnya urgensinya belum ada. Belum mendesak untuk dibahas. Yang kedua, ini menunjukkan pertarungan di mana kompetisi antarpartai untuk mencari lebih ke arah, pokoknya kaitannya ini dengan 2024," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (24/3/2021).
Ketiga, Ia melihat ada unsur pemaksaan dalam pembahasan RUU PKS. Pemaksaan itu sebenarnya lebih banyak diwarnai untuk kepentingan pencitraan politik.
"Apalagi secara urgensi juga masyarakat belum terlalu membutuhkan, ini kan hanya asumsi saja bahwa (RUU) PKS sangat diperlukan misalnya kan gitu. Saya sebagai akademisi menilai belum ada satu kajian ilmiah yang membuktikan bahwa keberadaan RUU PKS memang sesuatu yang sangat dibutuhkan masyarakat," jelas dia.
Dia menilai yang perlu dibenahi saat ini adalah sinkoronisasi dari aparat penegak hukum itu sendiri. Kasus-kasus kekerasan yang sifatnya remeh selayaknya dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat.
"Jadi bagaimana misalnya kayak anak melaporkan orangtuanya, kok kayak gitu aja diproses, kan tidak harus lewat pengadilan, bisa diselesaikan di luar pengadilan, mediasi atau musyawarah mufakat," ujar Trubus.
Draf RUU PKS Beda dengan yang Lama?
Sementara itu Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Bukhori Yusuf menilai RUU PKS itu diajukan oleh salah satu anggota Baleg dari Fraksi NasDem. Namun kemudian di dalam prioritas 2021, mereka mengusulkan itu menjadi usulan Baleg.
"Karena Nasdem itu menjadi salah satu pimpinan Baleg ya saya kira mayoritas menyepakatinya, tanpa PKS setuju tidak setuju ya dia akan masuk di dalam list 32 RUU yang disepakati menjadi Prolegnas," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (24/3/2021).
Bukhori mengungkapkan, saat ini belum ada draf tentang RUU PKS. Pihaknya khawatir RUU yang lama akan menjadi acuan draf RUU saat ini.
"Belum ada yang namanya naskah akademiknya dan drafnya. Tapi pesan kami, jangan mengulangi RUU yang lama. Kalau copy paste ya sama saja, perdebatannya jadi percuma gitu loh," ujar dia.
Bukhori mengungkapkan dalam RUU PKS yang lama disebutkan bahwa seks berdasarkan suka sama suka. Ini yang dianggapnya meniru liberalisme dan bertentangan dengan agama juga Pancasila.
"Walaupun itu kemudian tidak dinyatakan secara eksplisit. Kenapa kita sebut basisnya sexual concern, karena terminologi tentang kekerasan seksual disampaikan sebagai bentuk untuk memelihara atau memproteksi seks suka sama suka. Dan itu sebetulnya yang kita lihat pola kehidupan di Barat," terang dia.
Karena itu, Bukhori menegaskan dalam posisi ini, pihaknya tidak dalam konteks setuju atau tidak. Karena belum ada 'barangnya' dan masih berupa judul.
"Ini ruh ya, ruh dengan pasal itu beda. Kalau pasal itu adalah diktum, itu adalah frasa tapi kalau ruh itu tidak selalu dimunculkan dalam bentuk frasa," jelas dia.
Bukhori menegaskan bahwa RUU PKS yang lama sudah tidak berlaku. Karena RUU PKS sekarang ini sebenarnya bukan merupakan carry over atau langsiran dari RUU yang lama.
"Meskipun usulannya dulu dari pihak pengusul seperti itu. Dan yang perlu kemudian dibuka juga, salah satu di antaranya yang mengusulkan itu aktivis LGBT juga kan. Makanya Anda lihat betul itu," ucap dia.
Kendati begitu, PKS bukan berarti tidak membela terhadap korban kekerasan seksual. Bukhori menekankan, apakah RUU itu murni pro terhadap pemberantasan kekerasan seksual atau tidak.
"Itukan sebenarnya, ada sesuatu yang sangat terselubung di dalamnya. Ini bicara RUU yang lama ya," ujar dia.
Karena itu, Partai Keadilan Sejahtera tidak ingin menghakimi terhadap RUU yang belum ada. Dan jika nanti yang muncul RUU lama, maka publik pun harus mengetahuinya.
"Bedakan antara perspektif kita terhadap RUU PKS yang lama dengan RUU yang kita tidak tahu. Kan yang baru akan dibuat, ini kita tidak tahu, kalau kita tidak tahu, kita tidak bisa memberi hukum apa pun. Nah cuman kita ngasih catatan jangan sampai mengulang kembali terhadap yang lama," terang dia.
Sementara itu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menegaskan, pengesahan RUU PKS tidak dapat ditunda lagi. Mengingat, kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat di berbagai daerah.
Menurutnya, dari data pelaporan yang masuk dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) Kemen-PPPA, selama tahun 2020, tercatat 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 korban.
"Pengesahan RUU PKS sudah tidak dapat ditunda lagi, mengingat urgensinya yang sangat besar, karena kekerasan seksual tidak hanya memberikan dampak kepada korban saja, tetapi juga berdampak pada pola pikir masyarakat secara luas. Kita juga harus bisa melindungi generasi selanjutnya dengan menciptakan sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang benar-benar menghapuskan kekerasan seksual," kata Bintang Puspayoga dalam webinar di Jakarta, Kamis 14 Januari 2021 lalu.
Bintang mengatakan, pembahasan RUU PKS mulai dari konsep, naskah akademik hingga tercapai kesepakatan dalam bentuk RUU sudah melalui proses sangat panjang. Maka itu, RUU PKS ini harus segera disahkan.
Pengesahan RUU PKS, lanjut dia, merupakan bentuk komitmen dan perwujudan mandat dari Pancasila dan UUD 1945. Kemudian, bentuk keprihatinan tinggi terhadap jumlah perempuan korban kekerasan yang terus meningkat. Serta, didorong oleh isu penghapusan kekerasan seksual yang terus bergulir di masyarakat.
"Di samping itu, RUU PKS ini diharapkan dapat mengisi celah kekosongan hukum mulai dari upaya pencegahan, hingga penanganan dan rehabilitasi yang berperspektif korban dan memberikan efek jera pada pelaku," jelas Bintang.
Bintang menganggap, saat ini momentum tepat untuk disahkannya RUU PKS ini di DPR. Kata dia, tidak jelasnya tindak lanjut penanganan para korban, kurangnya aturan untuk menghukum bentuk kekerasan pada perempuan, akan menjadi ancaman nyata bagi segala upaya untuk menghapus segala bentuk kekerasan pada siapapun.
Saat ini, kata dia, ribuan korban masih menunggu keadilan yang tidak mereka dapatkan lantaran masih adanya celah dalam peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya. Dia bilang, tanpa sistem pencegahan holistik, kelompok rentan lainnya terutama perempuan dan anak, sedang terancam masa depannya karena sangat rawan menjadi korban selanjutnya.
"Untuk itu, RUU PKS harus segera disahkan untuk menutup dan menyempurnakan celah-celah ini, sehingga kita dapat melindungi bangsa kita dengan menciptakan sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang benar-benar dapat menghapuskan kekerasan seksual," Menteri Bintang.
Advertisement
Jalan Panjang RUU PKS
DPR akhirnya memasukkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dalam prolegnas 2021. RUU ini sebelumnya beberapa kali terpental dari Prolegnas lantaran masih banyak tafsir yang belum menemui titik temu.
Menengok ke belakang. Aturan ini sudah lama didengungkan Komnas Perempuan sejak 2012 lalu. Komnas melihat angka kekerasan terus meningkat. Indonesia dinilai berada dalam darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak. DPR pun diminta untuk membuat payung hukum terkait hal ini.
Namun teriakan Komnas Perempuan tidak digubris DPR. Selama empat tahun menunggu, Komnas akhirnya kemudian diminta menyerahkan naskah akademik payung hukum itu kepada DPR pada 2016.
Alhasil, DPR dan Pemerintah kemudian menyetujui RUU PKS ini dimasukkan dalam prolegnas Prioritas 2016. Presiden Jokowi juga mendukung langkah tersebut.
Kemudian RUU PKS ini disepakati sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna pada 6 April 2017 lalu. Kendati demikian, RUU yang awalnya dibahas oleh Pansus di Komisi III mengalami perubahan. RUU ini dikaji oleh Komisi VIII dengan lingkup tugas agama dan sosial.
Usai disepakati dalam Paripurna, DPR melayangkan draf RUU PKS kepada pemerintah. Namun dalam draf yang diberikan kepada pemerintah, mengerucut menjadi 50 pasal dari 152 pasal yang dirumuskan Komnas Perempuan. Hal ini sesuai permintaan yang diajukan oleh pemerintah.
Tahun 2018, pembahasan RUU PKS terus digelar. DPR mengundang sejumlah elemen masyarakat untuk diminta pendapat. Namun demikian, pada akhir 2018, DPR menunda pembahasan RUU tersebut hingga ajang pemilu 2019 rampung.
Periode berganti. DPR hasil pemilu dengan masa tugas 2014-2019 menggeber pembahasan RUU PKS ini. Namun rupanya, perjalanan RUU itu tidak berjalan mulus. Pro dan kontra pun bermunculan.
Pembahasan RUU PKS di Parlemen tak hanya berkutat soal kekerasan seksual saja. Tapi juga dikaitkan dengan isu seks dan hubungan sesama jenis.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang kala itu dipimpin Jazuli Juwaini menilai rumusan naskah akademik dan pasal-pasal RUU PKS jauh dari semangat norma Pancasila, agama dan budaya ketimuran. Ia memandang kajian mendalam dan perbaikan mendasar secara filosofis yang mengacu pada nilai-nilai tersebut diperlukan.
"Fraksi PKS merasa berkewajiban melindungi warga bangsa dari kekerasan seksual tapi kami juga punya tanggung jawab moral untuk menjaga moralitas bangsa sesuai Pancasila dan konstitusi," kata Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini dalam keterangan tertulisnya.
Tak hanya itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, yang kala itu dijabat Ace Hasan Syadzily menyebut, RUU PKS masih menjadi perdebatan terkait judul. Ia mengungkapkan ada yang menggunakan istilah tindak pidana penghapusan kekerasan seksual, juga ada diusulkan tindak pidana kejahatan seksual. Selain itu, juga ada yang mengusulkan undang-undang ketahanan keluarga.
"Itu semua tentu memiliki implikasi terhadap pasal-pasal turunannya," kata Ace di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (21/9/2019).
Panja DPR, ujar dia, belum menemukan titik temu untuk membahas kelanjutan dari RUU PKS tersebut. Namun politikus Partai Golkar itu menegaskan bahwa anggota DPR periode 2014-2019 berusaha menyelesaikan UU PKS dalam menit-menit terakhir.
"Tapi kami berharap bahwa pembahasan RUU PKS ini harus terus dilakukan, walaupun waktunya yang sangat-sangat terbatas. Selagi kita masih bisa mengerjakan dengan cepat, ya kita kerjakan, kita bahas ya," tandasnya.
Hingga masa periode dewan berakhir, pernyataan itu tidak terwujud. Malahan RUU PKS ini masuk dalam daftar yang kontroversial dan disorot publik. Bahkan memicu gelombang aksi besar-besaran di berbagai wilayah pada September 2019.
Kemudian pada periode 2019-2024, RUU PKS tetap berada dalam genggaman Komisi VIII DPR. Namun, draf itu tidak pernah dibahas sejak Komisi itu bertugas.
Setelah lama tak terdengar, kabar mengejutkan datang dari Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang. Saat Baleg DPR RI menggelar evaluasi Prolegnas Prioritas Tahun 2020, dia menyebut RUU PKS ditarik dari prolegnas 2020. Alasannya, karena pembahasannya rumit.
"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit, kami menarik dan sekaligus kami mengusulkan ada yang baru, yaitu RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia," kata Marwan dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/6/2020).
Gelombang kritik pun bermunculan menanggapi pernyataan itu. Publik menilai Komisi VIII tak ada niat merampungkan pengesahan RUU PKS tersebut.
Sementara Komnas Perempuan juga menyodorkan data bahwa Indonesia berada dalam darurat kekerasan seksual. Pada 2017, tercatat ada 392.610 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu bertambah 16,5 persen di tahun 2018 menjadi 406.178. Lalu semakin naik di 2019 hingga mencapai 431.471 kasus.
Di tengah banjir kritikan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily membantah bahwa RUU PKS dicabut. Menurutnya, RUU itu hanya akan diserahkan pembahasannya ke Badan Legislasi (Baleg), sesuai permintaan kalangan aktivis perempuan.
Menanggapi itu, Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas menegaskan pihaknya akan melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Namun ia mengatakan Baleg baru bisa mengambil alih RUU PKS tahun 2021.
"Saya berikan jaminan bahwa Oktober akan disahkan prolegnas baru, kalau Komisi VIII tetap tarik, maka Baleg yang akan usulkan RUU PKS," kata Supratman saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/7/2020).
Akhirnya, pada Selasa (23/3/2021), DPR menggelar Paripurna Pengesahan Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Tahun 2020-2024.
Dalam rapat itu, ada 33 RUU yang disepakati masuk dalam prolegnas 2021. Di antaranya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ketua DPR RI Puan Maharani pun menyebut RUU PKS sebagai bukti keberpihakan DPR kepada perempuan.
"Penyerapan aspirasi publik selalu menjadi pertimbangan utama DPR dalam menetapkan RUU prioritas dalam Prolegnas 2021. Keinginan publik dipertimbangkan untuk kemudian dilakukan kajian mendalam terkait pro dan kontranya sebelum RUU tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun ini," kata Puan di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (23/3/2021).
Puan menilai masuknya RUU PKS ini sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap korban kekerasan seksual.
"Lewat RUU PKS ini negara memperlihatkan keberpihakannya kepada korban kekerasan seksual," ujar politikus PDI Perjuangan tersebut.