Nilai Produk KIK Efek Beragun Aset Turun 28 Persen Sepanjang 2020

OJK juga berharap, sekuritisasi aset dapat terus berkembang dan menjadi alternatif pembiayaan bagi masyarakat.

oleh Dian Tami Kosasih diperbarui 24 Mar 2021, 15:56 WIB
Ilustrasi investasi Properti (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi yang terjadi tahun lalu, membuat sejumlah sektor melambat dan turun, salah satunya nilai Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA).

Mengalami penurunan, sepanjang 2020 nilai produk KIK EBA turun 28 persen dari Rp6,78 triliun pada Desember 2019 menjadi Rp4,87 triliun pada Desember 2020.

"Pada 2021, terdapat sembilan produk KIK EBA dengan total dana kelolaan Rp4,87 triliun. Adapun pada trimester pertama 2021 tercatat Rp4,81 triliun," kata Kepala Eksekutif Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hoesen, Rabu (24/3/2021).

Dalam pemaparannya, OJK juga berharap, sekuritisasi aset dapat terus berkembang dan menjadi alternatif pembiayaan bagi masyarakat. Khusus investasi ini, aset keuangan dapat berupa tagihan kredit, pemberian kredit termasuk KPR atau apartemen, dan efek bersifat utang.

Tak perlu khawatir, Hoesen juga mejelaskan bila sekuritisasi aset telah diatur dalam POJK Nomor 65/POJK.04/2017 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan POJK Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan.

"Pembiayaan keuangan di Indonesia masih didominasi oleh sektor perbankan, namun instrumen alternatif seperti sekuritisasi aset diharapkan akan menambah alternatif sumber pembiayaan lain bagi para pelaku ekonomi," tuturnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Sekuritisasi Aset Diharapkan Mampu Jadi Pendanaan Alternatif

Sebuah maket perumahan di tampilkan di pameran properti di Jakarta, Kamis (8/9). Sepanjang semester I-2016, pertumbuhan KPR mencapai 8,0%, sehingga diperkirakan pertumbuhan KPR hingga semester I-2017 menjadi 11,7%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, sekuritisasi aset diharapkan mampu menjadi pendanaan alternatif karena masyarakat tak perlu menjual aset yang dimiliki untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan.

Dalam hal ini, pemilik hanya perlu mengubah aset yang dimiliki ke dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN), sehingga lebih likuid dan dapat diperjualbelikan seperti Efek Beragun Aset (EBA).

Melihat hal ini, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti mendukung penuh pendaanan ini, terlepas dari banyaknya pelaku usaha yang mengandalkan perbankan.

"Kondisinya saat ini masih banyak yangn mengandalkan pembiayaan dari perbankan. Jadi kita perlu mempertimbangkan pembiayaan dari sumber lain, salah satunya sekruititasi aset ini," kata dia, Rabu, 24 Maret 2021.

Agar bekerja maksimal, Destry juga menyebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti ada lembaga penunjang, yakni investment company dan penjamin.

"Masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi ya, contohnya, pembentukan sekuritisasi tidak sama seperti mengajukan kredit ke bank. Apalagi dengan adanya INA/SWF dan sudah dikeluarkannya Omnibus Law Cipta Kerja, kita berharap banyak dana yang akan masuk," ujar Destry.

Senada dengan hal ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menegaskan bila sekuritisasi aset bisa menjadi investasi aman karena tingkat risiko yang lebih rendah.

"Sekuritisasi aset tentu berdampak bagi perekonomian nasional. Semakin besar pasar sekuritisasi aset, semakin besar pula manfaatnya bagi ekonomi domestik," tuturnya.

Oleh karena itu, Febrio yakin pengembangan pasar sekuritisasi aset akan lebih baik, terlebih mendorong ada surat utang yang kredibel.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya