Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kembali melarang penggunaan ondel-ondel untuk mengamen. Kebijakan ini kembali mengemuka seiring banyaknya keluhan warga terkait fenomena maraknya pengamen ondel-ondel di sudut-sudut jalanan ibu kota.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, kebijakan itu salah satunya bertujuan untuk menghargai ondel-ondel sebagai salah satu warisan budaya Betawi. Menurut dia, kesenian ondel-ondel harus tetap dilestarikan dan ditempatkan pada tempatnya.
Advertisement
"Larangan ondel-ondel itu kan karena dianggap pertama itu budaya lestari. Harus ditempatkan pada tempatnya, bukan di jalan-jalan seperti itu," kata Riza di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (25/3/2021).
Sebagai budaya bangsa, seharusnya ondel-ondel dapat dihargai oleh masyarakat, bukan justru dimanfaatkan untuk mengamen di jalanan. Apalagi sampai mengganggu ketertiban umum.
"Dihormati ditempatkan yang terbaik lah. Tidak juga dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan sempit. Kemudian kedua jangan sampai nanti menimbulkan gangguan ketertiban dan sebagainya," ucap Riza.
Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Arifin mengatakan, pihaknya telah melakukan penjangkauan terhadap pengamen ondel-ondel sejak Rabu, 24 Maret 2021. Dalam sehari, Satpol PP telah menjangkau 62 pengamen ondel-ondel bersama puluhan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) lainnya.
"Ondel-ondel yang ada di jalan dan sebagainya kita jangkau kita bawa ke GOR (Gelanggang Olahraga) itu didata," ujarnya kepada wartawan, Kamis.
Dia memastikan, tidak ada penyitaan ondel-ondel dalam penjangkauan tersebut. Namun, jika pengamen yang telah didata kembali mengulangi perbuatannya, maka Satpol PP DKI akan memberikan sanksi tindak pidana ringan (Tipiring).
"Tipiring ini adalah sanksi pidana yang diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007. Itu kita kenakan kepada pemilik ataupun yang menyewakan ondel-ondelnya," kata Arifin.
Dalam kesempatan berbeda, Arifin menuturkan, Satpol PP DKI akan berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan untuk mencari solusi bagi para pengamen beratribut ondel-ondel, agar aktivitas mereka tidak lagi mengganggu ketertiban masyarakat.
Sebab, menurut Arifin, banyak laporan dan keluhan masyarakat yang diterima Satpol PP terkait keberadaan pengamen beratribut ondel-ondel, mulai dari bisingnya suara, hingga sikap mereka yang cenderung memaksa.
"Dan kita lihat juga yang mengamen ini banyak anak-anak usia sekolah. Mereka digunakan untuk mengamen di jalanan dan seringkali kita perhatikan kesannya seperti memaksa," ucapnya.
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah mendukung langkah tegas Pemprov DKI melarang pengamen ondel-ondel. Menurut dia, fenomena pengamen ondel-ondel melanggar Pasal 40 Peraturan Daerah (Perda) DKI Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
"Kesenian ondel-ondel telah disalahgunakan untuk mencari penghasilan, mengemis ke kampung-kampung, terus menganggu ketertiban jalan. Berarti melanggar Pasal 40 Perda tentang Ketertiban Umum," kata Trubus saat dihubungi Liputan6.com, Kamis.
Pandemi Covid-19 turut mempengaruhi maraknya pengamen ondel-ondel. Trubus menuturkan, ada sejumlah orang yang secara masif memobilisasi pengamen ondel-ondel untuk beroperasi di sejumlah titik Jakarta dan sekitarnya.
Tak sedikit pula yang mengeksploitasi anak-anak di bawah umur dalam kegiatan ini. "Apalagi dengan suasana Covid-19 pemerintah mengeluarkan kebijakan pembelajaran jarak jauh, banyak yang enggak ikut sekolah yang pada akhirnya mengikuti (mengamen dengan) ondel-ondel," tuturnya.
Isu Lama
Isu penertiban pengamen ondel-ondel sejatinya telah bergulir lama. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat menjabat Wagub DKI 2014 silam telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Polda Metro Jaya untuk menertibkan PMKS, termasuk pengamen ondel-ondel.
Rencana penertiban dan pembinaan pengamen ondel-ondel kembali bergulir pada 2018. Hal itu diungkapkan Asiantoro yang saat itu menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Kadisparbud) DKI.
Namun, rencana tersebut hanya sebatas wacana. Nyatanya keberadaan pengamen ondel-ondel masih menjamur di sudut-sudut Ibu Kota hingga kini.
Februari 2020 lalu, fenomena pengamen ondel-ondel kembali menjadi sorotan seiring rencana DPRD DKI merevisi Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Gayung bersambut, Dinas Kebudayaan dan Satpol PP DKI pun berembuk menangani persoalan tersebut.
Bahkan Kadisbud DKI Iwan Henry Wardhana berjanji akan fokus dalam pengembangan budaya di masing-masing sangar ataupun pengrajin. "Kami lebih fokus mengintensifkan kegiatan yang bersifat memfasilitasi para seniman dan sanggar. Bukan orang ngamen," ucapnya, Kamis, 13 Februari 2020 lalu.
Namun, setahun berselang, belum ada langkah nyata dari pemerintah daerah. Kini isu itu kembali mengemuka setelah Satpol PP DKI memuat postingan larangan penggunaan ondel-ondel untuk mengamen melalui akun Instagram mereka, Rabu, 24 Maret 2021 kemarin.
Trubus menilai, tak kunjung terealisasinya kebijakan tersebut lantaran tidak ada political will atau kemauan politik dalam menegakkan Perda Ketertiban Umum. Selain itu, dia juga menduga adanya pemberian jatah kepada aparat dari "bandar" pengamen ondel-ondel.
"Sebenarnya yang melakukan pembinaan Dinas Pariswisata Budaya, aturan sudah lengkap. Dulu zaman Bang Yos sudah ditegakkan semua, tapi kemudian di era ini makin marak enggak karuan, penegakan lemah lagi. Ini masalah konsistensi dan komitmen," ujar dia.
Lebih lanjut, pemerintah juga diminta memberikan solusi agar persoalan tersebut tidak muncul lagi. Trubus meminta pemerintah membuat kebijakan kanalisasi atau menyiapkan tempat-tempat khusus untuk kelestarian budaya ondel-ondel.
"Di situ dibina, diberikan anggaran. Misalnya di Kota Tua, dekat RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak). Ditempatkan di situ, tapi mainnya pakai jadwal setelah jam sekolah jam 3 sore sampai 5 sore," katanya.
Selain solusi, Pemda DKI juga harus memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang melanggar. Bahkan pemerintah diminta bekerja sama dengan kepolisian untuk penanganan pelanggaran pidana yang terjadi pada kegiatan tersebut.
Menurut dia, bandar yang memobilisasi anak-anak di bawah umur bisa dijerat pidana dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. "Selama ini kan sanksinya enggak jelas, cuma teguran dibubarkan saja," kata Trubus.
"Mobilisasi masuk ke ranah pidana, kalau yang begerak sendiri harus libatkan Dinsos. Jadi ada yang sifatnya pidana dan sosial. Pidana jika yang dimobilisasi, yang dieskploitasi anak, kan sudah ada UU Perlindungan Anak. Itu dipidana," imbuh dia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bukan Mengamen, tapi Mengemis
Pengamat budaya Betawi, Fadjriah Nurdiarsih, juga mendukung kebijakan Pemprov DKI melarang pengamen ondel-ondel di Ibu Kota. Apalagi, kata dia, ondel-ondel masuk kategori 7 ikon Betawi bersama bir pletok, kerak telor, kebaya kerancang, ornamen gigi balang, dan lainnya, sehingga patut mendapat perhatian khusus.
"Sebenarnya lebih tepat disebut pengemis, bukan mengamen. Kalau ngamen itu seniman mempertunjukkan atau mempertontonkan keahlian dia, kemudian orang akan memberikan donasi sesuai dengan apakah dia suka atau tidak," kata Fadjriah saat dihubungi Liputan6.com, Kamis.
"Yang terjadi sekarang sebenarnya mengemis. Karena mengemis ini dianggap mengganggu citra ondel-ondel, karena sudah jadi ikon budaya dan itu ditanggapi dengan serius oleh Pemprov DKI Jakarta. Akhirnya keluarlah pelarangan ini," sambung dia.
Banyak masyarakat, khususnya warga Betawi keberatan lantaran kebudayaannya disalahgunakan. Menurut dia, ondel-ondel yang dijumpai di jalanan kerap membuat warga tidak nyaman. Selain karena melibatkan ibu-ibu dan anak di bawah umur untuk mengemis, boneka ondel-ondel yang dibawa juga sering kali dalam kondisi tidak layak.
Mereka juga berpakaian asal-asalan dan menggunakan musik iringan seadanya dari kaset. "Itu kan sebenarnya melanggar pakem dalam seni hiburan pertunjukan ondel-ondel," ujar perempuan yang akrab disapa Mpok Iyah ini.
Setiap kesenian, pasti memiliki pakem masing-masing. Kata Fadjriah, seniman yang benar-benar berusaha melestarikan budaya, pasti dia akan mengikuti pakem yang telah diwariskan oleh pendahulunya.
"Misalnya ondel-ondelnya cuma satu, seharusnya kalau sesuai pakem ondel-ondelnya sepasang, pengiring musik harus menggunakan seragam yang sopan, biasanya laki-laki pakai baju sadariah dan selendang yang dililitkan di leher, kemudian menggunakan alat musik hidup biasanya itu gambang kromong didorong pakai gerobak. Itu benar-benar sebuah seni pertunjukan," ucapnya.
Menurut dia, pengamen ondel-ondel kebanyakan bukan warga Betawi asli. Mulanya, pengamen ondel-ondel tidak sebanyak sekarang. Namun seiring waktu karena dianggap bisa menjadi lahan bisnis yang menguntungkan, akhirnya banyak yang mengikuti.
"Saya setuju kalau memang yang dilarang itu adalah yang meresahkan, karena mereka bukan seniman. Mereka menyewa di sanggar, kemudian keliling untuk mengemis. Jadi mereka bukan pemilik kebudayaan yang asli, sehingga merasa tidak ada beban. Sementara orang-orang Betawi tersinggung karena kebudayaannya dilecehkan," kata Fadjriah.
Selain itu, dia juga berharap Pemprov DKI bekerja sama dengan pemda di wilayah penyangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) untuk melestarikan kebudayaan ondel-ondel secara bijak. Sebab, budaya Betawi tidak hanya milik orang Jakarta.
"Kebudayaan Betawi itu ada di Jawa Barat, Banten seperti Depok, Bogor, Tangerang. Memang ada kekhawatiran (pengamen ondel-ondel akan bergeser), karena kan di DKI Jakarta sudah dilarang tapi kota-kota lain belum, bisa jadi invasi. Saya kemarin ke BSD, itu ramai banget, bahkan menurut saya lebih ramai di BSD dibandingkan di Jakarta," ujarnya.
Fadjriah juga berharap forum-forum yang menghimpun seniman Betawi di sejumlah wilayah dilibatkan untuk mencari solusi terkait persoalan ini.
Lebih lanjut, Fadjriah meminta Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini Dinas Kebudayaan menyediakan ruang-ruang terutama bagi pemilik sanggar kesenian untuk melestarikan ondel-ondel. Diharapkan, ondel-ondel kembali menjadi pertunjukan seni yang benar sesuai pakemnya dan diminati masyarakat.
"Misalnya, ada ruang-ruang terbuka seperti di Thamrin 10 atau di Dukuh Atas deket stasiun kereta api dan halte Transjakarta. Saya menyarankan ada solusi, dia dialihkan ke ruang publik untuk pentas atau di halaman hotel untuk menyambut tamu-tamu yang datang. Nanti sistem kerja samanya bisa Dinas yang membayar atau bisa mereka di situ menjadi seniman jalanan, ditaruh kotak sumbangan dan orang-orang yang terhibur bisa mengasih uang. Menurut saya itu lebih bagus daripada dilarang, tapi habis itu apa solusinya. Apalagi seniman adalah pihak yang paling terdampak pandemi," katanya menandaskan.
Advertisement
Menguak Sisi Mistis Ondel-Ondel Betawi
Dalam perayaan pesta perkawinan, masyarakat Betawi kerap meletakkan ondel-ondel di sejumlah sudut rumah. Boneka besar dengan dandanan khasnya itu berdiri berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan.
Dilihat dari ukuran fisik, tinggi ondel-ondel sekitar 2,5 sampai 3 meter. Rangka tubuhnya dibuat dari bambu. Garis tengah lingkaran tubuhnya 80-90 cm. Wajahnya yang disebut kedok dibuat dari kayu yang umumnya kayu kapuk. Boneka raksasa itu dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul orang dari dalamnya.
Topeng atau kedok ondel-ondel dihiasi dengan rambut kepala yang terbuat dari ijuk hitam serta diberi hiasan kembang kelapa. Dengan matanya yang melotot dan beraliskan tebal, ondel-ondel terkesan menyeramkan. Ditambah warna merah pada wajah ondel-ondel laki dan putih pada ondel-ondel wanita membuat nuansa "keangkeran" semakin terasa.
Keberadaan ondel-ondel disebutkan memang tak lepas dari anggapan adanya kekuatan mistis di dalamnya. Warga mempercayai ada kekuatan supranatural yang dapat memberikan manfaat bagi yang menggunakannya.
Peneliti kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, menyatakan masyarakat Betawi sebelum kedatangan Islam meyakini ondel-ondel memiliki kekuatan gaib. Atas dasar ini, boneka tersebut kerap disertakan dalam upacara adat, termasuk pesta pernikahan, sebagai pelindung dari marabahaya.
"Kekuatan gaib ondel-ondel ini diyakini dapat menangkal wabah penyakit seperti muntaber, cacar air, dan penyakit kulit lainnya, serta mencegah gagal panen akibat serangan hama ataupun bahaya yang mengancam," ujar Yahya dalam perbincangan dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Jika difungsikan sebagai pelengkap upacara sedekah bumi, ondel-ondel digunakan mengarak iring-iringan sajen yang diletakkan di empat penjuru kampung. Hal itu diyakini agar acara tersebut dilindungi oleh leluhur demi kelangsungan hidup anak cucu.
"Karena keyakinan seperti itu, masyarakat meyakini segala yang diminta akan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa," imbuh dia.
Yahya mengungkapkan, sampai kini keyakinan tersebut masih tertanam dalam hati masyarakat Betawi. Bahkan, tradisi yang diwariskan leluhur tersebut juga masih terjaga dengan baik di sejumlah wilayah.
"Sedekah bumi sampai sekarang masih ada. Di Pondok Rangon ada, di Jakarta Barat, ada. Masih ada kayak gitu. Itu dianggap dari kearifan lokal masyarakat setempat," jelas dia.
Dalam perkembangannya, ondel-ondel dimainkan dan ditanggap untuk berbagai acara. Antara lain mengarak pengantin sunat, peresmian kantor, pawai budaya, dan sebagainya.
Selain itu, untuk mempertahankan eksistensinya, ondel-ondel seringkali digunakan meraup rezeki dengan cara mengamen. Kegiatan itu hanya dilakukan pada saat tahun baru Masehi maupun Imlek.
Namun kini, pertunjukan kesenian ondel-ondel itu tak hanya bisa dinikmati pada waktu tertentu saja. Setiap saat, masyarakat dapat menyaksikan barungan atau rombongan ondel-ondel di sejumlah ruas jalan.
Dalam aksinya, para penari yang berada di dalam ondel-ondel itu berjingkrakan dengan iringan musik. Tidak ada musik yang dikhususkan untuk mengiringi kehadiran ondel-ondel itu, tetapi di daerah–daerah tertentu di Jakarta biasa tampil dengan iringan musik ningnong, tanjidor, gendang pencak, gambang kromong, maupun rebana ketimpring.
Ondel-ondel yang semula berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan, perlahan mulai sedikit bergeser. Dewasa ini, ondel-ondel itu digunakan untuk acara kemasyarakatan.
Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel masih bertahan dan menjadi penghias wajah kota Metropolitan Jakarta.
Reporter: Cinta Islamiwati (Mahasiswi Vokasi IPB/Magang)