Yayasan Penabulu: Masih Banyak Publik yang Meragukan Aktivitas LSM

Deden menemukan tiga faktor yang menyebabkan banyak masyarakat menganggap apa yang didengungkan LSM tak sejalan dengan kepentingan publik

oleh Yopi Makdori diperbarui 26 Mar 2021, 08:43 WIB
Aktivis lingkungan hidup dari berbagai LSM membawa spanduk bertuliskan pesan saat berjalan kaki menuju Taman Aspirasi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (29/11/2019). Aktivis meminta pemerintah segera mendeklarasikan perubahan iklim yang semakin kritis. (merdeka.com/Imam Buhori)
Liputan6.com, Jakarta -

Peneliti Yayasan Penabulu Deden Ramadani mengatakan masih cukup banyak masyarakat yang meragukan aktivitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan semisalnya.

Menurut Deden, hampir 50 persen publik menganggap isu-isu yang disuarakan LSM tak mewakili kepentingan umum.

"Ini jadi menarik bagi kami untuk melihat lebih jauh apa sih ada perbedaan persepsi ini, antara publik dengan apa yang disuarakan LSM," kata Deden dalam sebuah webinar pada Rabu (24/3/2021).

Deden menemukan tiga faktor yang menyebabkan banyak masyarakat menganggap apa yang didengungkan LSM tak sejalan dengan kepentingan publik.

Pertama, menurut Deden ada persepsi publik yang berbeda dalam melihat penggunaan istilah antara ormas, LSM dan  Non-Governmental Organization atau NGO, serta Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).

"Istilah ormas misalnya, sering kali di mata publik mendapatkan posisi subordinat dibanding istilah OMS dan NGO," katanya.

Kedua, lanjut Deden pemahaman tentang OMS atau NGO antara pemerintah, OMS dan korporasi atau publik secara luas juga terdefersifikasi. Di samping survei soal OMS kerap kali melibatkan kelompok-kelompok yang memang tak menjadi sasaran dari OMS itu sendiri.

"Yang mana mayoritas (OMS) mengejar kelompok-kelompok marginal dan minim akses terlibat dalam survei. Sehingga relevansi dan perannya pun sering kali dalam survei dianggap tidak relevan," katanya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Eksploitasi Isu Pendanaan

Dari pengetahuan publik yang tak sempurna mengenai LSM dan sejenisnya, menurut Deden akan berimplikasi pada sejumlah hal. Misalnya akan banyak LSM yang mengeksploitasi suatu isu demi akses pendanaan publik yang lebih besar.

"Ada potensi gratifikasi instan misalnya, yang penting dapat dana, yang penting uangnya keluar. Atau popularitas bagaimana OMS berlomba-lomba untuk mendapatkan popularitas tapi kemudian minim substansi," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Yayasan Penabulu juga meresmikan Program Co-Evolve dan peluncuran perdana Lokadaya.id sebagai platform jejaring dan crowdsourcing bagi ormas atau LSM di Tanah Air untuk mendapatkan sumber daya, termasuk pendanaan lokal.

Hadirnya Lokadaya.id memungkinkan LSM ataupun OMS lokal dapat mengakses pendanaan dari sumber-sumber lokal dan bisa sedikit melepaskan ketergantungan dari pendanaan sumber luar ngeri.

Peresmian dilakukan secara virtual dengan menempelkan telapak tangan para hadirin ke muka layar gawai peserta.

Peresmian itu diikuti oleh Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket dan perwakilan dari Kantor Staf Kepresidenan, Yayasan Penabulu, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya