Dukung Indonesia Jadi Hub Ekonomi Digital Asia, Startup Harus IPO

Perusahaan teknologi rintisan (tech startup) didorong untuk melakukan Penawaran Umum Perdana atau Iniatial Public Offering (IPO).

oleh Athika Rahma diperbarui 26 Mar 2021, 17:10 WIB
IPO CLEO (Foto: Achmad DA/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong perusahaan-perusahaan teknologi rintisan (tech startup) untuk melakukan Penawaran Umum Perdana atau Iniatial Public Offering (IPO) di pasar modal Indonesia.

Melalui IPO, diharapkan perusahaan teknologi rintisan bisa tumbuh dan memperkokoh posisi Indonesia sebagai hub ekonomi digital di Asia Tenggara, bahkan bersaing di kancah internasional.

"Perusahaan teknologi startup sudah memperlihatkan kinerja yang baik, berkontribusi dalam perekonomian dan terbukti membantu kesejahteraan masyarakat, bahkan tetap bisa tumbuh di masa pandemi. Misalnya, perusahaan start up layanan jasa antar penumpang atau barang dan lain-lainnya," ungkap Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani dalam keterangannya, Jumat (26/3/2021).

Menurutnya, perusahaan teknologi rintisan dapat meningkatkan kapasitas bisnisnya dengan penyertaan modal dari dana masyarakat di pasar modal. Pihaknya berharap, pemerintah dapat ikut mendukung langkah tersebut.

Merujuk pengalaman di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Hong Kong ataupun Singapura menunjukkan bahwa IPO dari sebuah Unicorn atau Decacorn merupakan peristiwa penting bagi pasar modal dan perekonomian negara dimana IPO itu dilakukan.

Dua perusahaan dengan IPO terbesar sepanjang sejarah merupakan perusahaan tech startup, yaitu Alibaba dan Facebook. Melalui IPO, perusahaan teknologi rintisan nasional juga diharapkan bisa unjuk gigi bersaing di kancah internasional.

Di sisi lain, saat ini perusahaan rintisan menemui beberapa tantangan dalam perjalanan menuju IPO karena masih dinilai memiliki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan konvensional.

"Memang ada beberapa peraturan pasar modal yang menjadi perhatian kami untuk pengembangan perusahaan rintisan ini, antara lain mengenai pengaturan kelas saham ganda, pemegang saham pengendali, penambahan modal tanpa HMETD (Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu), hingga pencatatan saham ganda di dua Bursa Efek (dual listing) dan E-Bookbuilding (Penawaran Awal secara Elektronik)", ungkap Rosan.

Terkait hal tersebut, Kadin telah mengirimkan surat secara resmi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pihaknya berharap dapat segera berkoordinasi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan.

Dia menjelaskan, pengaturan yang diusulkan Kadin lebih fokus terhadap kepastian bahwa perusahaan akan selalu dikendalikan oleh para pendiri (domestic-led) bahkan apabila mayoritas investor adalah pihak asing setelah perusahaan melakukan IPO, baik ketika melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau bahkan ketika diperbolehkan melantai di bursa negara lainnya.

"Peraturan untuk perusahaan publik saat ini yang dikeluarkan oleh OJK belum mengakomodir kebutuhan perusahaan publik untuk memiliki kelas saham yang berbeda dengan jumlah hak suara yang berbeda," kata Rosan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Jenis Saham

IPO

Jenis saham dengan hak suara yang berbeda ini memungkinkan para pendiri perusahaan (founders) untuk tetap dapat memegang kendali atas jalannya perusahaan dan pengembangan perusahaan sesuai dengan misi dan visinya tanpa dihambat oleh kepentingan jangka pendek investor, dan juga melindungi perusahaan dari ancaman hostile takeover dari pihak asing yang dapat melakukan pembelian saham perusahaan melalui bursa.

Sebagai referensi, lanjut dia, skema Kelas Saham Ganda dengan satu kelas saham diantaranya berupa saham dengan Weighted Voting Rights (WVR) yaitu dimana jenis saham tersebut memberikan hak suara lebih kepada pemegangnya. Saham dengan WVR merupakan skema yang diadopsi dan dipraktekkan secara luas di bursa negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Hong Kong, dan Singapura.

Bila merujuk pada perkembangan di negara lain, skema WVR diadopsi oleh Singapura dan Hong Kong pada tahun 2018 dengan tujuan mengakomodir IPO startups di kedua bursa efek tersebut dan setelah diberlakukannya skema WVR, bursa efek di negara-negara itu telah menjadi sebuah tujuan IPO bagi perusahaan-perusahaan startups baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Untuk dapat mengakomodasi ketentuan WVR, Kadin mengusulkan, definisi pemegang saham pengendali di dalam peraturan OJK maupun BEI harus diberikan pilihan. Pertama, jumlah persentase hak suara yang dimiliki oleh pemegang saham atau kedua, jumlah lembar saham dengan hak suara yang telah dikeluarkan oleh perusahaan.

Hal ini sesuai dengan peraturan dan praktik yang dilakukan di negara-negara yang menerapkan skema WVR. Dengan demikian, pemegang saham pengendali dapat diartikan sebagai pemegang saham yang mempunyai jumlah hak suara terbanyak di dalam sebuah perusahaan dan bukan hanya pemegang saham yang mempunyai jumlah lembar saham dengan hak suara terbanyak.

 


Penambahan Modal Tanpa HMETD

Ilustrasi IPO 3 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Tak hanya itu, penambahan modal tanpa HMETD diusulkan dapat dilakukan oleh emiten di Indonesia sebesar 30 persen dari modal disetor setiap tahunnya selama emiten mendapatkan persetujuan pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan khusus untuk perusahaan teknologi rintisan, diperbolehkan untuk melakukan penambahan modal tanpa HMETD sebesar maksimum 10 persen dari modal disetor setiap tahunnya, khusus untuk pemegang saham pengendali/founders, selama emiten mendapatkan persetujuan pemegang saham independen melalui RUPS.

Usulan batasan pengeluaran saham dengan persentase ini sama seperti yang dilakukan di Amerika Serikat, Hong Kong, dan Singapura.

Menurut Rosan, pencatatan saham ganda di 2 (dua) Bursa Efek (dual listing) dan E-Bookbuilding (Penawaran Awal secara Elektronik) seperti di BEI dan bursa di Amerika Serikat atau bursa lainnya, maka perusahaan rintisan akan menjadi perusahaan dengan nilai kapitalisasi besar, serta mendorong tumbuhnya kepercayaan investor mancanegara terhadap perusahaan Indonesia sehingga akan menarik lebih banyak investasi asing dan dapat membuat perusahaan rintisan menjadi lebih bisa bersaing di kancah internasional.

"Peraturan pelaksanaan bookbuilding dan proses penawaran umum saham perdana di Indonesia saat ini masih ditemui berbagai permasalahan teknikal dari segi periode waktu (timeline) pencatatan antara bursa Indonesia dengan bursa Amerika Serikat, misalnya. Apabila peraturan tidak direvisi, maka rencana pencatatan saham ganda di bursa Indonesia dan bursa Amerika Serikat untuk perusahaan Indonesia dapat mengalami hambatan. Hal seperti ini yang kami harapkan bisa ditindaklanjuti," pungkas Rosan.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya