Kasus Kekerdilan Ditemukan Hampir Merata di Pamekasan

Pada 2018 prevalensi kekerdilan di Pamekasan mencapai 27,67 persen dari total jumlah bayi dan balita di wilayah itu.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Mar 2021, 06:10 WIB
Ilustrasi Stunting. Foto: Ade Nasihudin Liputan6.com (9/11/2020).

Liputan6.com, Surabaya - Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pamekasan Achmad Marzuki menyatakan penanganan kasus balita kekerdilan bukan hanya tanggung jawab Dinas Kesehatan, akan tetapi semua elemen masyarakat dan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait di lingkungan Pemkab Pamekasan.

Pola penanganan terintegratif antara semua elemen masyarakat sangat dibutuhkan sebab persoalan mendasar yang dihadapi saat ini bukan karena kemiskinan. Kekurangan asupan gizi pada bayi dan balita hingga menyebabkan yang bersangkutan mengalami gagal tumbuh akibat kurangnya pemahaman yang benar tentang pola hidup sehat.

Dalam kondisi yang seperti ini, kata dia, sosialisasi dan pendidikan secara langsung oleh petugas medis kepada masyarakat dibutuhkan.

Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sejauh ini dinilai salah satu sarana alternatif terbaik dalam berupaya menekan kasus kekerdilan di Pamekasan. Melalui program posyandu itu, petugas bisa memberikan pengarahan secara langsung kepada para ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, melansir dari Antara, Jumat, 25 Maret 2021.

Volumen pemeriksaan ibu hamil juga ditingkatkan, dari sebelumnya minimal empat kali, saat ini menjadi enam kali. Dengan perubahan jumlah volume pemeriksaan itu, perkembangan bayi bisa terpantau disamping petugas bisa menyampaikan sosialisasi lebih intens tentang pentingnya asupan makanan bergizi.

Pelibatan bintara pembina desa (babinsa) dalam mendorong masyarakat memeriksakan diri ke posyandu juga dilakukan di samping para kader posyandu dan tokoh masyarakat.

"Hasilnya memang terlihat, prevalensi kasus stunting di Pamekasan menurun," katanya.

Pada 2018 prevalensi kekerdilan di Pamekasan mencapai 27,67 persen dari total jumlah bayi dan balita di wilayah itu, pada 2020 menjadi 18,04 persen, dan hingga 25 Maret 2021 menjadi 16,47 persen.

"Kita memang tidak memiliki strategi khusus, selain mengoptimalkan sosialisasi agar kesadaran hidup sehat di kalangan masyarakat tercipta, sehingga dengan demikian, mereka mengetahui tentang pola asupan gizi yang benar, sesuai dengan kebutuhan," katanya.

 

 

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini


Merata di Pamekasan

Ilustrasi stunting/dok. Unsplash Alvin

 

Berdasarkan data di masing-masing puskesmas, kasus kekerdilan di Pamekasan masih ditemukan di hampir semua puskesmas di 13 kecamatan dengan persentase prevalensi antara enam hingga 32 persen.

Di Puskesmas Talang mencapai 32,19 persen balita kekerdilan dari jumlah 727 balita yang diukur ketinggian badannya di puskesmas itu, Puskesmas Panaguan 30,76 persen, Kadur 29,84 persen, Pakong 3,23 persen, Waru 6,10 persen, Galis 6,16 persen, Larangan 6,25 persen, dan Batumarmar 10,94 persen.

Menurut Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Pamekasan Zaitun Ernawati, tingginya angka balita kekerdilan di daerah itu, karena beberapa faktor, antara lain kekurangan gizi sejak masa kandungan hingga berumur dua tahun setelah persalinan dan kurangnya pemahaman keluarga akan pentingnya asupan gizi yang memadai.

Para penyandang kasus kekerdilan ini, umumnya berasal dari kalangan keluarga prasejahtera dan kurang mampu. Tingkat kemiskinan dan pendidikan cenderung berbanding lurus dengan tingginya balita kekerdilan, meskipun tidak semuanya karena di kabupaten ini juga ditemukan ada balita kekerdilan dari kalangan keluarga yang mampu secara ekonomi.

Ia menjelaskan kekerdilan atau stunting kondisi gagal tumbuh pada anak karena kurang gizi kronis dan infeksi penyakit yang berulang. Penyebab kondisi ini rendahnya asupan gizi dalam waktu cukup lama, terutama dalam periode emas seribu hari pertama kehidupan (HPK) yang dihitung sejak anak dalam kandungan hingga usia dua tahun.

Jika dibiarkan, hal tersebut berpeluang kehilangan potensi SDM yang berkualitas. Anak dengan kekerdilan memiliki perkembangan otak yang tidak akan seperti anak yang tumbuh sehat. Kecerdasannya pun tidak optimal dan jika dewasa rentan menderita penyakit degeneratif, seperti jantung dan diabetes.

 


Kekerdilan di Indonesia

Ilustrasi Stunting Foto oleh Harsha Vardhan dari Pexels

Berdasarkan hasil survei status gizi balita pada 2019, prevalensi kekerdilan Indonesia tercatat 27,67 persen. Angka itu masih di atas standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan prevalensi kekerdilan di suatu negara tak boleh melebihi 20 persen.

Di Jawa Timur, persentase kekerdilan masih mencapai 26,91 persen, dengan risiko tertinggi di Kabupaten Probolinggo, Trenggalek, Jember, Bondowoso, dan Pacitan, termasuk di empat kabupaten di Pulau Madura.

Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pamekasan menyebutkan prevalensi balita mengalami kekerdilan pada 2020 juga masih tinggi, yakni mencapai 9.831 orang atau 18,04 persen dari total jumlah balita di wilayah itu, sedangkan hingga 25 Maret 2021 turun menjadi 16,47 persen.

Prevalensi kekerdilan pada 2020 hingga Maret 2021 yang dalam kisaran 18,04 hingga 16,47 persen ini menurun dibandingkan dengan sebelumnya. Pada 2019 prevalensi kekerdilan di daerah itu masih 27,67 persen.

Lokus kekerdilan 2019, masing-masing di Desa Jarin, Durbuk, Candi Burung, Campor, Pangbatok, Banyupelle, Rek Kerek, Angsanah, dan Panaan, sedangkan pada 2020 di Desa Larangan Slampar, Terrak, Larangan Dalam, Kowel, Nyalabu Daya, Candi Burung, Banyupelle, Rombuh, Bangkes, Waru Timur, dan Tlontoh Rajah.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya