Liputan6.com, Jakarta - Sampah jadi perhatian banyak orang, karena semakin banyaknya sampah belakangan ini. Di luar itu, banyaknya sampah itu perhatian juga difokuskan pada pemanfaatannya sebagai sumber energi dengan pemanfaatan teknologi.
"Ada beberapa teknologi yang bisa digunakan untuk memanfaatkan sampah sebagai sumber energi. Untuk sampah organik bisa skala kecil atau besar dengan metode biodigester. Sampah akan dihasilkan methan atau biogas. Gas methan itu yang bisa menghasilkan energi yang bisa dimanfaatkan untuk memasak atau listrik," ujar Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 25 Maret 2021.
Baca Juga
Advertisement
Hermawan menambahkan, ada juga metode pirolisis. Sampah plastik dimasukan ke dalam pirolisis kemudian dipanaskan dengan suhu 200--400 derajat Celcius. Karena plastik awalnya dari minyak bumi, maka akan terurai lagi menjadi minyak bumi. Hasilnya bisa jadi minyak tanah, solar, dan premium.
"Sebenarnya ada beberapa kota di Thailand, seperti di Chiang Mai, di sana sampah-sampah organik dikumpulkan kemudian diolah dalam biodigester besar dan itu bisa menghasilkan listrik untuk penerangan kota," ujar lulusan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga.
Di Indonesia ada ratusan TPA, kata Wawan, mereka menggunakan tumpakan sampah itu sehingga menghasilkan gas methan yang digunakan untuk memasak dan energi. Ia mencontohkan TPA Talangagung di Kepanjen, Malang, mereka menanfaatkan gas dari TPA untuk memasak.
"Ada sekitar 100 hingga 200 rumah di sana mereka memasak dengan menggunakan sumber energi gas dari TPA. Gas itu juga digunakan untuk kebutuhan dan penerangan di TPA. Beberapa yang memanfaatkan gas itu seperti di Pasuruan dan di beberapa TPA di kota lain di Kalimantan, seperti di Banjar, Balikpapan," ujar Wawan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mengurangi Efek Pemanasan Global
Menurut Wawan, gas yang menghasilkan energi untuk memasak itu merupakan gas methan. Gas methan itu, lanjut dia, lepas ke udara saat sampah menumpuk, itu menjadi salah satu pemanasan global.
"Gas methan itu salah gas rumah kaca yang efeknya 21 kali lebih berbahaya dari CO2. Nah, saat gas itu ditangkap, dibakar, dan dimasak, maka tidak lagi menjadi gas methan sehingga bisa mengurangi efek pemanasan global," kata Wawan.
"Itu harus dilakukan oleh TPA-TPA di Indonesia, karena tumpukan sampah itu menghasilkan gas methan," imbuh dia.
Sejauh ini, kata Wawan, pemanfaatan sampah sebagai sumber energi belum dilkukan secara maksimal karena pemerintah daerah (Pemda) tak mempunyai uang karena biayanya besar. Namun, pihak Pemda bisa menangkap gas-gas methan itu dengan menggunakan pipa-pipa yang kemudian disalurkan untuk kebutuhan memasak dan penerangan.
"Investasinya mungkin bisa di bawah satu miliar. Kalau untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) mungkin bisa triliunan," kata Wawan.
Advertisement
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
Dihubungi secara terpisah, Senior Engineer di Pusat Teknologi Lingkungan (PTL) di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Ir. Widiatmini Sih Winanti MSi, mengatakan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Bantar Gebang merupakan proyek percontohan (pilot project).
"PLTSa Bantar Gebang itu masih sebagai pilot project dengan kapasitas 100 ton sampah per hari. Hasil listriknya didesain 700--750 kilowaat. Sejak awal PLTSa dibuat sebagai percontohan. Karena selama ini PLTSa masih menjadi pro dan kontra di masyarakat," ujar Widiatmini saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 26 Maret 2021.
PLTSa ini didesain pada pertengahan 2017, kemudian dibangun pada 2018. Setelah itu, dilanjutkan dengan operasi pada 2019, kemudian pada 2020 dilakukan operasi dengan waktu yang panjang. "Dari Februari 2020--Desember 2020 waktu operasinya selama 221 hari selama 24 jam kumulatif.
"Hasil listriknya tidak dijual ke PLN, tapi digunakan untuk alat-alat sendiri, kebutuhan listriknya hanya 350 kilowatt," ujar Widiatmini yang menyebut saat ini PLTSa hanya baru satu di Bantar Gebang yang merupakan proyek percontohan. "Fokusnya baru bagaimana kita bisa mengoperasikan (PLTSa) dengan baik," imbuh dia.
Pro dan kontra terhadap keberadaan PLTSa karena pembakaran sampahnya bisa berbahaya bagi tubuh. "Kalau pemanasan itu dilakukan dengan cara dibakar dampaknya dikhawatirkan menyebabkan menghasilkan gas-gas bioksin dan furan yang berbahaya bagi tubuh," ujar Hermawan.
Selain berbahaya bagi tubuh, biaya untuk PLTsa juga sangat mahal. Hermawan mencontohkan untuk sampah dengan berat satu ton, maka biaya yang harus dikeluarkan agar sampah menjadi energi sebesar Rp500 ribu. "Bisa dibayangkan kalau seandainya Surabaya bikin PLTSa untuk mengolah sampah 1.000 ton dalam sehari, maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp500 juta," ujar Wawan.
Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi
Advertisement