Tidak Harus Menunggu Juli 2021, Sekolah Wajib Dibuka Usai Guru Divaksin

Nadiem memutuskan untuk mewajibkan pembelajaran secara tatap muka kepada sekolah usai para pendidik dan tenaga kependidikannya telah menjalani vaksinasi Covid-19.

oleh Yopi Makdori diperbarui 30 Mar 2021, 14:21 WIB
Guru mengatur barisan siswa sesuai jarak yang ditentukan sebelum memasuki ruang kelas di SDN Pekayon Jaya VI, Bekasi, Rabu (24/3/2021). Sekolah yang diberi izin menggelar pembelajaran tatap muka adalah yang berlokasi di zona hijau dan kuning. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mewajibkan pembukaan sekolah usai guru dan tenaga kependidikannya telah lengkap menjalani vaksinasi Covid-19.  

Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, (Dirjen PAUD Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri menegaskan bahwa hal ini tak harus menunggu hingga Juli 2021, bulan di mana target pemerintah menyelesaikan vaksinasi terhadap para guru.

"Kebijakan mewajibkan satu pendidikan membuka tatap muka berlaku setelah semua guru dan tenaga kependidikannya diberi vaksinasi. Tanpa menunggu tahun ajaran baru tahun 2021/2022," tegas Jumeri dalam acara Pengumuman Surat Keputusan Bersama sejumlah menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), Selasa (30/3/2021).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim memutuskan untuk mewajibkan pembelajaran secara tatap muka kepada sekolah usai para pendidik dan tenaga kependidikannya telah menjalani vaksinasi Covid-19.

"Karena kita sedang mengakselerasi vaksinasi, setelah pendidik dan tenaga pendidikan di dalam suatu sekolah  telah divaksinasi secara lengkap, pemerintah pusat, pemerintah daerah atau kantor Kemenag mewajibkan satuan pendidikan tersebut untuk menyediakan layanan pembelajaran tatap muka terbatas dengan menerapkan protokol kesehatan," tegas Nadiem dalam acara yang sama.

Nadiem menyebut, sekolah juga wajib memberikan pilihan pembelajaran secara jarak jauh. Hal ini lantara, kendati sekolah telah menjalankan pembelajaran secara tatap muka, namun secara prosedur protokol kesehatan, kapasitas yang diizinkan hanya 50 persen saja.

"Jadi mau tidak mau walaupun sudah selesai vaksinasi dan diwajibkan untuk memberikan tatap muka terbatas, tapi harus melalui sistem rotasi. Sehingga harusnya menyediakan dua-dua opsinya, tatap muka dan juga pembelajaran jarak jauh," tekannya.

Kendati sekolah diwajibkan menggelar pembelajaran secara tatap muka, namun kata Nadiem keputusan untuk kembali menyekolahkan anaknya secara langsung ada di tangan para orang tua. Orang tua masih memiliki pilihan apakah mau mendorong anaknya untuk belajar di sekolah atau tetap memilih belajar di rumah.  

"Yang terpenting adalah orang tua atau wali murid boleh memilih, berhak dan bebas memilih bagi anaknya apakah mau melakukan pembelajaran tatap muka terbatas atau tatap melaksanakan pembelajaran jarak jauh," ucapnya.

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Tambah Kesenjangan Ekonomi

Aktivitas siswa saat kembali mengikuti pembelajaran tatap muka di SDN Pekayon Jaya VI, Bekasi, Rabu (24/3/2021). Jumlah siswa pun dibatasi hanya 15 orang tiap kelas dan wajib mengenakan masker baik murid maupun guru. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Mantan Bos Gojek Indonesia itu mengungkapkan kekhawatirannya jika sekolah tak kunjung menggelar pembelajaran secara tatap muka.

Menurut Nadiem, banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan lantaran pembelajaran jarak jauh.

"Kita melihat tren-tren yang sangat mengkhawatirkan, tren anak-anak yang putus sekolah. Kita melihat penurunan capaian pembelajaran, apalagi di daerah-daerah di mana akses dan kualitas itu tidak tercapai. Jadinya kesenjangan ekonomi menjadi lebih besar ya," terang Nadiem.

Pembelajaran jarak jauh, lanjut Nadiem juga terpotret sebabkan orang tua menarik anaknya keluar dari sekolah. Hal ini lantaran mereka tak melihat peranan sekolah selama menggelar pembelajaran secara jarak jauh. 

"Dan ada berbagai macam isu-isu kekerasan domestik yang terjadi dalam keluarga yang tidak terdeteksi. Jadi risiko dari sisi bukan hanya pembelajaran, tapi risiko dari masa depan murid itu dan risiko psikososial atau kesehatan mental dan emosional anak-anak itu, ini semuanya sangat rentan," ujarnya.

"Jadi kita harus mengambil tindakan tegas untuk menghindari agar ini tidak menjadi dampak yang permanen dan satu generasi menjadi terbelakang," sambungnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya