Liputan6.com, Jakarta Jaksa penuntut umum (JPU) menolak eksepsi atau nota keberatan terdakwa Rizieq Shihab yang menyatakan bahwa dirinya tidak bisa dipidana terkait kasus kerumunan di Petamburan dan Megamendung karena telah membayar denda Rp 50 juta kepada Pemprov DKI Jakarta.
JPU menegaskan bahwa sanksi administratif yang diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang saat ini sedang dijalani Rizieq di PN Jaktim.
Advertisement
Karena denda tersebut, kata jaksa, merupakan denda pengganti kurungan akibat pelanggaran Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
"Pemahaman nebis in idem dalam perkara terdakwa tidak ada kaitannya dengan pergub yang diterapkan sanksi administrasi yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI/ Gubernur DKI Jakarta," kata jaksa saat membacakan tanggapannya di PN Jaktim, Selasa (30/3)
Lebih lanjut lagi, jaksa mengatakan bahwa keputusannya itu telah sesuai dengan pasal-pasal dalam KUHP Pidana tentang pidana denda, yaitu pasal 30 ayat (2) KUHP. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan. Lamanya pidana kurungan pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (3) KUHP, paling sedikit 1 (satu) hari dan paling lama 6 (enam) bulan.
"Pidana denda adalah hukuman berupa pembayaran sejumlah uang atau lainnya karena melanggar ketentuan pidana sesuai pengadilan. Pidana denda diatur dalam pasal 10 KUHP Pidana, pasal 30 ayat 2 KUHP pidana tentang pidana kurungan pengganti denda,"
Bukan hanya itu, jaksa juga menyatakan bahwa Rizieq dan penasihat hukumnya keliru dalam memaknai asas nebis in idem. Seperti yang diketahui, saat membacakan nota keberatannya, Rizieq menyinggung asas Nebis in Idem, yakni prinsip hukum pidana yang menyatakan bahwa terdakwa tidak bisa diadili lebih dari dua kali terhadap satu perkara yang sama. Jaksa kemudian menjelaskan dengan maksud dan penggunaan dari asas tersebut.
"Dalam ketentuan pasal 76 KUHP Pidana, nebis in idem artinya tidak dapat dilakukan penuntutan untuk kedua kalinya terhadap tindak pidana yang sama. Dirumuskan dalam pasal 14 ayat 7 ICCPR (The International Covenant on Civil and Political Rights) bahwa keputusan yang sudah final harus dihormati," ungkapnya.
"Individu yang terkait (asas tersebut) jelas sangat diuntungkan, karena bila tuntutan hukum yang dijalankannya sudah dihentikan, dia tidak akan dihukum, diganggu dan dipidana lagi untuk pidana yang sama. Maka, pemberlakuan nebis in idem, yaitu setelah melewati proses penuntutan dan mempunyai kepastian hukum yang jelas melalui putusan pengadilan yang final," lanjut jaksa menjelaskan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Lewati Serangkaian Penyelidikan
Jaksa mengklaim bahwa pasal-pasal yang disangkakan kepada Rizieq terhadap kasus kerumunan di dua wilayah itu telah melewati serangkaian proses penyidikan yang jelas. Oleh karena itu, walaupun sudah membayar Rp50 juta ke Pemprov DKI Jakarta, jaksa menegaskan bahwa Rizieq tetap bisa dipidana.
"Perbuatan terdakwa dalam sangkaan pasal yang didakwaan diawali dengan proses penyidikan dan penuntutan. Kemudian perkaranya dilimpahkan ke pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum yang jelas," ungkapnya.
Sebagai informasi, pasal yang disangkakan kepada Rizieq terkait kasus kerumunan di Petamburan dan Megamendung, Bogor yaitu:
1. 160 KUHP jo. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
2. Pasal 216 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
4. Pasal 14 ayat (1) UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
5. Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d tentang Organisasi Masyarakat (Ormas)
Reporter: Rifa Yusya Adilah
Sumber: Merdeka.com
Advertisement