Liputan6.com, Malang - Gempa dan tsunami dapat kapanpun terjadi di Malang dan berbagai wilayah di Indonesia. Tidak ada yang bisa memprediksi kapan bencana itu bakal terjadi. Karena itu, strategi mitigasi harus ditingkatkan dengan pelibatan seluruh masyarakat.
Seruan pentingnya menyiapkan mitigasi itu muncul dalam webinar bertema Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami di Malang. Sebuah literasi kebencanaan yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang bersama Google News Initiative pada Selasa, 30 Maret, 2021.
Baca Juga
Advertisement
Upaya mitigasi sedini mungkin dapat meminimalisir potensi korban jiwa dan kerusakan dalam skala besar. Pesisir selatan Kabupaten Malang termasuk rawan bencana gempa dan tsunami. Serta dapat terdampak meski titik terjadinya gempa berada di daerah lain.
Kepala Stasiun Geofisika Karangkates Malang, Ma’muri, mengatakan di Jawa Timur ada tiga sumber penyebab gempa bumi. Pertama, zona subduksi atau titik pertemuan lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Biasa pula disebut zona megathrust.
“Di Jawa Timur zona megathrust membentang di selatan Jawa, dapat memicu gempa dan tsunami,” kata Ma’muri.
Kedua, zona sumber gempa dari sesar aktif. Titik gempa di wilayah daratan dan meski kekuatannya kecil dan dangkal, tapi dapat dirasakan masyarakat dan mampu merusak. Di Jawa Timur ada tujuh sesak aktif dan enam segmen kendeng.
Yaitu sesar naik Pati, sesar Kendeng yang terdapat enam segmen yakni Demak, Purwodadi, Cepu, Blumbang, Surabaya, Waru). Lalu ada sesar Pasuruan, sesar Probolinggo, sesar Wongsorejo, zona sesar Rembang – Madura – Kangean – Sakala dan sesar bawean.
Ketiga, zona sumber gempa di luar subduksi lempang tektonik atau gempa yang dipicu aktivitas vulkanik gunung berapi. Di pulau Jawa, banyak gunung berapi yang bila erupsi dapat memicu terjadinya gempa.
Seluruh sumber gempa itu berpotensi menyebabkan terjadinya gempa dan tsunami. Catatan Stasiun Geofisika Karangkates Malang, intensitas kegempaan dan tinggi gelombang laut di Provinsi Jawa Timur dalam dua tahun terakhir ini ada peningkatan.
“Otoritas terkait harus menyiapkan skenario terburuk, bagaimana mitigasinya. Sebab potensi gempa dan tsunami itu ada,” ujar Ma’muri.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Fokus Mitigasi
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang, Sadono Irawan, mengatakan telah menyusun peta rawan bencana gempa bumi dan tsunami di selatan Malang.
“Pada tahun lalu kami sudah mulai menyusun rencana kontijensi terkait ancaman gempa,” kata Sadono.
Penyusunan rencana kontijensi itu melibatkan Stasiun Geofisika Karangkates untuk ancaman kegempaan. Pada tahun ini rencananya rencana serupa bakal disusun, dengan fokus ancaman tsunami di pesisir selatan.
“Berbagai langkah mitigasi juga sudah kami siapkan, dari perbaikan insfrastruktur sampai menerbitkan regulasi,” ucap Sadono.
Andang Bachtiar, seorang geolog merdeka menuturkan, pemerintah harus mulai fokus pada daerah rawan gempa dan tsunami. Pada 2018 silam, paska gempa di Palu dan tsunami di selat Sunda, para ilmuwan Indonesia dan luar negeri mengeluarkan hasil penelitiannya.
“Hasil kajian para ilmuwan, ada 15 daerah masuk peta potensi terjadi bencana gempa dan tsunami,” ujar Andang.
Daerah itu yakni megathrust Mentawai, megathrust Selat Sunda, patahan Cimandiri, patahan Lembang, patahan naik Surabaya – Bojonegoro, patahan naik Selat Sunda, Palu – Goro Segmen Selatan, patahan naik pffshore Sulawesi Barat, Zona Penunjaman Sulawesi Utara.
Lalu di titik gempa – tsunami Tarakan, patahan Sumatera yang memiliki 12 segmen, patahan Baribis, megathrust Jember – Banyuwangi, megathrust Bali – Lombok – Sumbawa, patahan Sorong dan zona penunjam Papua Utara.
“Wilayah Malang bisa terdampak dari mana saja, misal dari megathrust Jember – Banyuwangi serta megathrust Bali Lombok Sumbawa,” ujar Andang.
Di wilayah selatan Malang seperti Sumbermanjing Wetan sampai Dampit banyak patahan. Sayangnya sampai hari ini belum pernah dikaji lebih detil apakah patahan itu aktif atau tidak. Bila tak aktif, dampak terburuknya potensi terjadi bencana longsor.
“Tapi kalau patahan itu aktif, dapat terjadi gempa luar biasa bila ada gerakan dari zona megathrust,” ucap Andang.
Menurut dia, seharusnya berbagai instansi di Pemerintahan Kabupaten Malang terlibat pemetaan patahan itu. Mulai dari titik tepatnya sampai perkiraan panjangnya. Kawasan selatan Malang yang masuk rawan bencana harus ada mitigasi sejak dini.
“Patahan itu yang harus diteliti lebih detil sebab jadi sumber gempa atau penyalur gempa. Bisa menyalurkan gempa meski titiknya berada di daerah lain,” ujarnya.
Setelah itu segera fokus langkah mitigasinya. Agar warga yang tinggal di wilayah patahan itu sudah siap bila sewaktu-waktu terjadi gempa. Baik berupa evakuasi pindah maupun penguatan bangunan rumah.
“Tidak ada yang bisa memprediksi kapan gempa dan tsunami pasti terjadi. Maka mitigasi sejak dini harus disiapkan,” kata Andang.
Advertisement
Riwayat Gempa Bumi dan Tsunami
Dalam sejarahnya di wilayah Malang Raya dan sekitarnya pernah terjadi gempa darat yang bersumber dari sesar aktif. Mengutip catatan Stasiun Geofisika Karangkates, Malang, gempa darat pernah terjadi di Wlingi, Blitar, pada 1896.
Gempa darat pernah pula terjadi di Tulungagung pada 1902, di Tulungagung pada 1915. Sedangkan di Malang pernah dua kali terjadi pada 1958 dan 1967. Gempa darat pada 1967 itulah yang paling besar dengan kekuatan 6,2 Skala Richter (SR).
Sedangkan sejarah gempa besar mengakibatkan tsunami di Jawa Timur pernah terjadi pada 1840 di Pacitan, pada 1843 di Madura, pada 1859 di Tulungagung dan yang terbesar terjadi di Banyuwangi pada 1994.
Tepatnya pada 2 Juni 1994, gempa berkekuatan 7,2 SR menyebabkan gelombang tsunami setinggi 13,9 meter. Dalam peristiwa tsunami di Banyuwangi itu diperkirakan ada 250 orang meninggal dunia dan seribu lebih rumah rusak.