Liputan6.com, Jakarta - Alfonsa Horeng dikenal sebagai sosok yang mengajak para perempuan di tanah Flores untuk terus menjaga dan melestarikan warisan budaya melalui kain tenun ikat tradisional NTT.
Berbekal semangat tersebut, ia bersama 14 perempuan lain di lingkungan Desa Nita, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara TImur (NTT) mendirikan Sentra Tenun Lepo Lorun pada 2002.
Advertisement
Alfonsa mengatakan tidak ada hambatan baginya untuk membentuk komunitas perempuan penenun tersebut, termasuk soal modal awalnya. Hal paling penting untuk bisa mendirikan dan mempertahankan Lepo Lorun adalah keyakinan dan kekuatan mental yang harus dibiasakan.
Lepo Lorun, katanya, sama sekali tidak berorientasi untuk mencari keuntungan. Oleh sebab itu, indikator kesuksesannya diukur dari kemampuan komunitas tersebut bisa bertahan sampai saat ini.
"Indikator keberhasilan kami diukur dari survive, bukan dari berapa uang yang kami. Tiap hari ada kegiatan, ada aktivitas, tidak mati, tidak bubar," tutur Alfonsa kepada Liputan6.com.
Komitmen tersebut sesuai dengan prinsip Lepo Lorun, begitu pula dengan karakter kegiatannya yang berkaitan dengan tradisi budaya. "Jadi di tengah pandemi atau krisis moneter atau apapun juga tradisi tidak akan mati," sambungnya.
Lepo Lorun dijiwai oleh semangat perempuan yang disiplin dan motivasi untuk bergerak maju. Terbukti, para perempuan penenun Lepo Lorun kini bisa berbagi pengetahuan mereka kepada orang-orang yang berkunjung mulai dari wisatawan hingga pada peneliti.
Jumlah keanggotaan Lepo Lorun sejak didirikan terus bertambah, meski jumlahnya fluktuatif. Pasang surut anggota tak menghapus semangat. Saat ini anggota yang aktif berjumlah 32 orang dengan usia di bawah 82 tahun.
Sebagai sentra tenun, Lepo Lorun memiliki inti plasma. Sehingga, Lepo Lorun biasanya juga memberikan bantuan berupa bahan baku tenun dan uang kepada cabang-cabangnya.
Namun pengiriman bantuan tersebut biasanya tidak mudah, mengingat medan di Flores yang dinilai sulit dilewati. Rintangan ini tidak menyusutkan semangat Alfonsa dan Lepo Lorun.
"Kita harus meneruskan motivasi untuk bertahan, meski ada juga yang situasinya tidak mendukung. Ada yang kerja rajin, tapi kami kadang kekurangan akses, kekurangan benang untuk kerja mereka," tutur Alfonsa.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hasilkan Ribuan Kain Tenun
Alfonsa menuturkan sejak berdiri pada 2002 hingga saat ini, Lepo Lorun telah menghasilkan ribuan kain tenun. Karena tidak berorientasi mencari keuangan, maka tidak semua kain tenun yang dihasilkan dijual. Dalam pembuatan kain tenun, para perempuan penenun Lepo Lorun sangat mengutamakan kualitas.
"Karena fungsi dasar utamanya adalah untuk tradisi, adat, jadi itu kita kembalikan dahulu ke fungsi adat utamanya. Untuk dibawa ke pesta adat dan upacara kematian, misalnya. Tidak usah bawa uang, emas, cincin dan lainnya, ada tenun menjadi status perempuan, feminisme perempuannya ditampilkan di situ," jelas Alfonsa.
Kain yang dibuat oleh para perempuan penenun juga untuk mereka pakai sendiri sebagai pakaian adat. Kain tenun bisa dijual jika mereka ingin melakukannya dan ada lebih kain.
"Kami bukan bikin tenun lalu beli beras. Beras itu di sawah, kebun sendiri ada," kata perempuan kelahiran 1 Agustus 1974 tersebut.
Jika pun ada kain tenun yang dijual, katanya, tidak ada patokan harga tertentu. Kain tenun yang dijual biasanya karena ada yang memesan, sehingga terkadang bisa dijual dengan harga Rp 1 juta, Rp 3 juta, atau pilihan harga lainnya.
Alfonsa pun menegaskan pembuatan kain tenun ini pada dasarnya untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya. Lepo Lorun didirikan bukan untuk berdagang.
Ia pun berharap pemerintah bisa memberikan perhatian terhadap para pelaku kreatif yang mengangkat identitas peradatan. "Jangan asal angkat pelaku kreatif yang hanya untuk kenyang perut sendiri," ungkapnya.
Uang yang didapat Lepo Lorun utamanya bukan dari menjual kain tenun. Melainkan dari jasa yang diberikan kepada para pengunjung dalam bentuk edukatif, seperti mengajarkan proses pembuatan kain tenun dan acara musik tradisional. Para pengunjung pun tidak dipatok biaya, tapi terkadang ada yang membayar Rp 5 ataupun Rp 10 juta.
Alfonsa pun mengaku sejauh ini tidak ada tantangan finansial yang terlalu mengganggu operasional Lepo Lorun. Jika sedang tidak memiliki uang untuk membeli benang, misalnya, maka para penenun menyiasatinya dengan memintal kapas. Contoh lain, membuat pewarna dari akar mengkudu dan tanaman Indigo.
Pandemi Covid-19 pun disebut tidak mengganggu aktivitas di Lepo Lorun. Selama pandemi, menurut Alfonsa, para anggota Lepo Lorun justru semakin produktif dan memiliki banyak waktu mengerjakan pekerjaan mereka yang sempat tertunda.
Dari sisi pemasukan pun tidak ada masalah. Bahkan wisatawan lokal juga masih berkunjung seperti melakukan foto prewedding dan berfoto dengan pakaian adat.
"Mereka bisa foto di sana. Jadi mereka mau bayar walau mahal. Jadi penghasilan kami di pandemi ini jauh lebih bagus daripada sebelum pandemi," sambungnya
Advertisement
Proses Pembuatan Kain Tenun
Proses membuat kain tenun ikat terdiri dari 45 tahapan jika semua bahan yang digunakan benar-benar organik dari alam. Dalam hal ini seperti seratnya dari kapas hingga membentuk motif warna. Sementara jika benangnya sudah dibeli di toko, begitu pula dengan pewarna, maka hanya 25 tahapan proses.
Bagi masyarakat NTT, kain tenun bukan sekadar kain biasa. Kain tenun ikat, kata Alfonsa, merupakan mahakarya, bernilai tinggi, serta ada falsafah, tujuan, dan pesan-pesan yang disampaikan di dalamnya.
Ke depan, ia berharap Lepo Lorun akan terus ada dan sistem kerjanya tidak berganti dengan mesin. "Harapannya Lepo Lorun terus. Kita harapkan tetap begini, tidak lekang oleh waktu," ujarnya.
Alfonsa sendiri selama ini sering menjadi pembicara di berbagai acara untuk mengenalkan kain tenun ke 32 negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Australia, dan wilayah Eropa. Acara tersebut dihadirinya atas undangan dari berbagai pihak termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan kementerian.
Berdasarkan pengalamannya selama ini, orang-orang di luar negeri sangat mengapresiasi budaya Indonesia. Oleh sebab itu, ia berharap perwakilan Indonesia untuk terus mengenalkan budaya Indonesia di mata dunia.
Kehadirannya di berbagai acara tersebut sama sekali tidak untuk berjualan. Melainkan membawa misi peradaban dan terhubung dengan orang banyak.
"Negara luar akan bangga dengan Indonesia kalau masyarakatnya mengangkat peradabannya sendiri. Itu kita pernah lihat di universitas-universitas besar, mereka juga memberikan kesempatan kita untuk berbicara, presentasi, demo tenun, dan memberikan paparan," jelas Alfonsa.