Sejumlah Pengungsi Myanmar Menyeberang ke Thailand Cari Perawatan Medis

Berikut adalah kisah pengunsi Myanmar yang berjuang untuk mencari perawatan medis hingga nekat menyebrang perbatasan ke Thailand.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 01 Apr 2021, 09:30 WIB
Para pengunjuk rasa berlindung di balik perisai buatan sendiri saat mereka menghadapi polisi selama tindakan keras terhadap demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 16 Maret 2021. (STR/AFP)

Liputan6.com, Yangon - Warga sipil yang terluka akibat serangan udara di Myanmar menceritakan pengalaman mereka setelah berjalan melalui hutan untuk mencari perawatan medis di Thailand.

Selama akhir pekan, jet militer Myanmar mencapai sasaran di negara bagian Kayin timur, ketika negara tersebut terhuyung-huyung dari hari paling mematikan sejauh ini, dalam tindakan keras junta terhadap protes anti-kudeta.

Serangan tersebut menargetkan wilayah yang dikuasai oleh Persatuan Nasional Karen (KNU) - salah satu kelompok etnis bersenjata terbesar di Myanmar, yang sebelumnya telah merebut pangkalan militer.

Mereka menandai penggunaan serangan udara pertama militer Myanmar terhadap KNU dalam 20 tahun dan membuat sekitar 7.000 penduduk desa Karen terpaksa melarikan diri demi keselamatan, menurut kelompok bersenjata itu.

Naw Eh Tah, salah satu dari segelintir orang yang berhasil menyeberangi Sungai Salween - yang berbatasan dengan Thailand - berusaha mencari perawatan medis, dan pengalamannya ketika serangan udara menghantam tempat tinggalnya.

"Kami tidak mendengar pesawat itu - jika kami mendengarnya, kami akan lari," kata perempuan berusia 18 tahun itu kepada AFP

Naw Eh Tah kini tengah menjalani perawatan di rumah sakit distrik Sop Moei, di provinsi Mae Hong Son, utara Thailand.

"Pada saat saya menyadari apa yang terjadi, ledakan menghantam atap rumah saya," ceritanya.

"Ketika saya terhantam, saya tidak bisa berjalan - tetapi saya harus memanjat untuk bersembunyi," ungkapnya, demikian seperti dikutip dari AFP, Kamis (1/4/2021).

Saksikan Video Berikut Ini:


Perjuangan Menyeberangi Sungai dengan Luka Tembak

Suasana jalanan yang kosong di samping Pagoda Shwedagon, Yangon, Myanmar, Rabu (24/3/2021). Demonstran menyerukan "silent strike" sebagai protes terhadap kudeta militer di Myanmar. (AFPTV/AFP)

Dengan kakinya yang terluka akibat tembakan, Naw Eh Tah tetap berjuang berjalan kaki selama sehari melalui hutan tropis yang lebat ke sungai.

"Kami menyeberang karena saya tidak bisa tetap tinggal - tentara Myanmar berusaha menangkap kami," ungkap Naw Eh Tah.

"Saya belum pernah melihat (serangan udara) sebelumnya. Saya sangat takut," ceritanya.

Pengungsi termuda yang menyeberang sungai berusia 15 tahun, juga mengalami luka paling parah.

"Saya mencoba melarikan diri tetapi bom berjatuhan begitu cepat," kata seorang pengungsi bernama Saw Lab Bray (48) kepada AFP, yang masih duduk di kursi roda rumah sakit. 

"Saya jatuh dan batuk darah. Saya takut karena saya tidak bisa lari, saya tidak bisa bergerak," terangnya.

Dokter di rumah sakit di Thailand, Chakri Komsakorm mengatakanbahwa  para pengungsi tampak seperti "mereka telah melalui perang" dengan banyak luka pecahan peluru menjadi terinfeksi karena kekurangan obat.

Ditambahkannya juga, ada "banyak yang tampaknya telah kelaparan selama beberapa hari".

Kelompok Karen mengatakan sebanyak 3.000 orang melarikan diri menyeberangi sungai ke Thailand setelah serangan udara.

Para pengungsi tersebut khawatir akan dikembalikan ke Myanmar, meskipun pejabat Thailand bersikeras bahwa mereka tidak akan dipaksa kembali.

Kementerian Luar Negeri Thailand mengatakan pada Selasa malam (30/3) bahwa ada sekitar 2.300 pengungsi yang telah kembali ke Myanmar.

Sementara itu, sekitar 550 pengungsi lainnya masih berada di Thailand.


Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya