Digitalisasi Bakal Jadi Penyelamat Industri Fesyen dari Ganasnya Pandemi

Sektor fesyen ternyata tidak luput dari dari sasaran dampak pandemi.

oleh Athika Rahma diperbarui 01 Apr 2021, 14:50 WIB
Koleksi Nadjani di JFW 2021. (dok. Screenshoot Youtube Jakarta Fashion Week)

Liputan6.com, Jakarta - Setahun lebih pandemi Covid-19 sebabkan kolaps di hampir seluruh sektor bisnis. Sektor fesyen ternyata tidak luput dari dari sasaran dampak pandemi.

Untuk bertahan di tengah dampak pandemi, industri fesyen harus masuk ke ranah digital.

"Digitalisasi memberikan optimisme baru dimana 71 persen fashion executive berharap bisnis fashion mereka akan tumbuh 20 persen atau lebih di tahun 2021," ujar Pimpinan Redaksi HerStory Clara Aprilia dalam acara HerStory Indonesia Best Local Brand Fashion Awards 2021, sebagaimana dikutip dari keterangan resmi, Kamis (1/4/2021).

Digitalisasi dinilai bermanfaat dalam kemajuan bisnis, melakukan branding, dan menciptakan reputasi brand yang baik di mata masyarakat. Digitalisasi juga dianggap menjadi kunci atau peluang terbesar bagi industri fesyen untuk bangkit kembali.

Anggapan ini didukung laporan Fashion’s Big Reset 2020 oleh Boston Consulting Group yang menyebutkan, perusahaan fesyen dapat meningkatkan 30 hingga 55 persen penjualan total melalui digital commerce. Peningkatan penjualan pun bisa dilakukan melalui digitalisasi, misalnya digital commerce.

"Hal ini dikarenakan pandemi Covid-19 telah mengubah consumers behavoir dalam berbelanja," lanjutnya.

Selain melalui digitalisasi, kemajuan industri fesyen pada tahun 2021 juga dipengaruhi dukungan dari pemerintah, berupa vaksinasi nasional. Vaksinasi ini dinilai membuat industri fesyen optimis untuk bangkit kembali.

Usaha pemerintah dalam meningkatkan kembali industri fesyen juga dilakukan dengan cara menggelar fesyen festival. Misalnya, menggelar pameran fesyen terbesar di Indonesia, Nusantara Fashion Festival yang didukung oleh BUMN seperti Bank BRI.

Adapun, berdasarkan laporan The State of Fashion 2021 oleh The Business of Fashion dan McKinsey, sebanyak 45 persen responden yang merupakan fesyen executive mengatakan pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi sebagai tantangan terbesar bagi industri fesyen di tahun 2021.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ramadan Tak Dongkrak Penjualan Industri Fesyen Muslim

Model membawakan koleksi busana pada gelaran Muslim Modest Fashion Project (MOFP) di Jakarta, Sabtu (21/11/2020). MOFP merupakan kompetisi yang diikuti desainer binaan Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian. (Liputan6.com/Pool/Agus)

Industri fesyen muslim ikut terdampak pandemi Corona Covid-19. Meski bersamaan dengan bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri, nyatanya penjualan baju muslim turun.

Brand Nadjani Indonesia mengalami penurunan pendapatan hingga 30 persen. "Secara keseluruhan penjualan baju turun 30 persen," kata Pemilik Nadjani Indonesia, Nadya Amatullah Nizar dalam Media Briefing bertajuk 'UMKM Lokal di New Normal' secara virtual, Jakarta, Rabu (10/6/2020).

Bahkan, dia harus menutup toko offline-nya di sebuah pusat perbelanjaan. Sebab pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membuat mal ditutup.

Nadya pun memaksimalkan penjualan lewat platform digital. Dia juga mengubah produk jualannya dari pakaian menjadi mukena.

Nadya menilai, di masa pandemi ini tidak banyak orang yang akan membeli pakaian untuk Lebaran. Bahan pakaian pun disulap Nadya menjadi mukena.

Pikirnya inovasi produk dapat meningkatkan penjualan. Koleksi Ramadan Nadjani Indonesia pun berubah menjadi mukena, masker dan celemek.

"Kami akhirnya memberanikan diri merombak koleksi Ramadan yang sudah jadi, namun kurang laku, dan menjadikannya produk yang lebih dibutuhkan masyarakat," cerita Nadya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya