Beban Lebih Ringan, Ekonomi Indonesia Bakal Cepat Pulih Dibanding Negara Lain

Pijakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai lebih baik dari negara lain.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Apr 2021, 17:00 WIB
Warga berada di sekitar Spot Budaya Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (5/11/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 minus 3,49 persen, Indonesia dipastikan resesi karena pertumbuhan ekonomi dua kali mengalami minus. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2020 terkontraksi hingga -2,1 persen. Wakil Menteri Keuangan, Suhasil Nazara menilai capaian tersebut lebih baik dibandingkan negara lain yang mengalami kontraksi ekonomi lebih dalam.

"Kalau kita lihat Indonesia minus 2,1 persen. Negara lain ada yang lebih dalam kontraksinya dari Indonesia," kata Suahasil dalam Temu Stakeholders untuk Percepatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Jakarta, Kamis (1/4).

Dia menjelaskan, pijakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai lebih baik dari negara lain. Pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi pijakan yang lebih ringan untuk melangkah ke depan.

"Jadi kalau kita lihat pertumbuhan Indonesia terkontraksi tapi ada pijakan untuk maju ke depan," kata dia.

Sebaliknya negara-negara lain dinilai memiliki pijakan yang lebih berat lantaran kontraksi pertumbuhan ekonomi lebih dalam. Maka, Suahasil optimis pemulihan ekonomi nasional tahun ini akan berbuah manis.

"Pijakan kita oke, kita punya pijakan, oleh karena itu kita melihat tahun 2021 pemulihan ekonomi harus jalan terus," kata dia.

Meski beban yang dibawa Indonesia lebih ringan, Suahasil mengingatkan semua pihak harus tetap berhati-hati. Sebab masih ada tantangan yang perlu dihadapi yakni intervensi kesehatan berupa vaksinasi massal gratis.

Selain itu, APBN juga menjadi tantangan dalam pemulihan ekonomi nasional. "APBN akan tetap fleksibel, APBN akan menjadi alat pemulihan ekonomi," kata dia.

Tak ketinggalan, tantangan terbesar bukan sebatas bisa keluar dari masa-masa tersulit dari Pandemi Covid-19. Melainkan juga harus bisa keluar dari krisis dan bangkit.

"Enggak boleh kita hanya sekedar selamat, sekedar survive. Kita harus selamat dan survive serta memiliki reformasi struktural," kata dia.

"Sehingga ketika intervensi kesehatan berupa vaksinasi membaik, survival kitnya membaik, lingkungan usahanya juga membaik," tuturnya.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Sri Mulyani Beberkan 4 Tantangan Berat Pemulihan Ekonomi Nasional

Suasana gedung bertingkat nampak dari atas di kawasan Jakarta, Senin (7/11). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III 2016 mencapai 5,02 persen (year on year). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pemulihan ekonomi nasional, akibat dampak dari pandemi Covid-19. Tantangan pertama dan terpenting adalah vaksinasi, bagaimana mengelola Covid-19, serta membangun herd immunity.

“Vaksinasi sangat penting. Keberhasilan vaksinasi dan penanggulangan dampak Covid akan memulihkan perekonomian, khususnya pada sektor konsumsi. Sektor ini baru akan pulih ketika masyarakat yakin bahwa Covid sudah terkendali,” kata Menkeu secara daring pada ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (AFMGM) with International Financial Institutions (IFIs), ditulis Rabu (31/3).

Tantangan kedua adalah bagaimana memulihkan korporasi dan perbankan. Pemerintah Indonesia melakukan peran untuk memulihkan kembali hubungan keduanya dengan memberikan subsidi pada tingkat bunga dan jaminan pinjaman.

Kemudian ketiga adalah spillover yang berasal dari kebijakan negara maju, khususnya Amerika Serikat. The US Treasury meningkat hingga 85 persen dari awal tahun 2021, dari di bawah 1 persen menjadi 1,75 persen.

"Tentunya ini berdampak ke seluruh dunia. Bagaimana sekarang kita mengarahkan pemulihan yang masih sangat rapuh ini,” ujarnya.

Tantangan terakhir adalah terbatasnya ruang kebijakan fiskal seiring semakin tingginya utang dan defisit. Maka dari itu, pemerintah harus melakukan reformasi, baik dari sisi pendapatan maupun belanja.

“Bagaimana kita akan menerapkan reformasi di tengah pemulihan. Exit policy juga menjadi sangat penting. Pemerintah dan Bank Indonesia bersama bersama-sama melakukan koordinasi dalam merancang kebijakan dan berkomunikasi kepada lembaga pemeringkat pasar. Bagaimana kita akan merancang exit policy dari situasi yang extraordinary,” jelasnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya