Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan imbal hasil US Treasury atau obligasi Amerika Serikat (AS) telah menjadi fokus pasar modal global sepanjang Februari. Tren kenaikan imbal hasil sejauh ini memiliki dampak negatif bagi aset berisiko seperti saham, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran investor atas dampak dan akibat dari kenaikan imbal hasil US Treasury yang signifikan.
“Dari domestik, pasar saham memeriahkan penurunan penyebaran COVID-19 dalam negeri sementara pasar obligasi terpuruk akibat kenaikan imbal hasil US Treasury,” ujar Wealth Management Head Bank OCBC NISP, Juky Mariska dalam OCBC Monthly Outlook, dikutip Jumat, (2/4/2021).
Advertisement
Dari segi data, rilis produk domestik bruto (PDB) Kuartal IV 2020 pada awal Februari menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 2.19 persen, lebih rendah dibandingkan estimasi analis dan juga pemerintah.
“Angka inflasi untuk bulan Januari juga kurang memuaskan, inflasi tercatat turun dari 1.68 persen menjadi 1.55 persen secara tahunan,” kata dia.
IHSG berhasil menguat di atas level psikolog 6.000 pada Februari 2021, mencatatkan penguatan sebesar 6.5 persen untuk menutup bulan perdagangan di rentang level 6.200–6.300.
Proses vaksinasi yang terus berjalan masih memberikan sentimen positif bagi investor, seiring dengan turunnya angka penyebaran.
Namun, pasar saham beberapa pekan terakhir terlihat bergerak sideways akibat para pelaku pasar yang masih mencari-cari katalis berikutnya yang dapat mendorong penguatan pasar saham.
Meskipun demikian, Juky masih melihat potensi penguatan yang cukup signifikan bagi pasar saham domestik di saat peningkatan laba perusahaan di kuartal kedua 2021.
"IHSG diperkirakan akan diperdagangkan di rentang 6.200–6.500 dalam jangka pendek ke depan,” kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Pasar Obligasi
Pergerakan pasar obligasi domestik menyerupai pasar obligasi Amerika Serikat, dimana pelemahan yang signifikan terjadi di bulan Februari. Imbal hasil obligasi 10 tahun pemerintah naik 650 basis poin (6.5 persen) ke level 6,6 persen untuk menutup Februari.
Juky menilai, potensi diperlukannya stimulus yang lebih besar dapat memicu penerbitan obligasi yang lebih banyak. Pada dua sesi lelang terakhir, penawaran yang masuk lebih rendah dibandingkan rata-rata, namun masih berhasil mencatatkan rasio bid-to-cover sebesar 2.5x hingga 3x.
“Seiring dengan ekspektasi investor global atas pemulihan ekonomi dan inflasi yang lebih cepat, pasar obligasi masih akan tertekan beberapa waktu kedepan,” tutur dia.
Advertisement