Liputan6.com, Jakarta - Puasa Ramadan wajib dilaksanakan bagi setiap muslim, tak terkecuali bagi ibu hamil. Hanya saja ketika dikhawatirkan terjadi hal-hal buruk yang tak diinginkan, baik bagi dirinya atau pun bagi janin yang ada dalam kandungannya, maka atas alasan itu akhirnya ibu atau perempuan hamil diberi keringanan untuk berbuka. Artinya, mereka boleh tidak berpuasa.
"Sesungguhnya Allah azzawajalla meringankan musafir dari berpuasa, mengurangi (rakaat) salat dan meringankan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui. Hal itu sesuai hadis riwayat Ahmad dan Ashabussunan," ujar lulusan Ilmu Tafsir dari Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta, Saiyid Mahadhir Lc.,M.Ag., dalam jawaban tertulis kepada Liputan6.com, Kamis, 1 April 2021.
Baca Juga
Advertisement
Saiyid melanjutkan, tentu saja penilaian dan tidak amannya berpuasa bagi ibu hamil didasarkan pada informasi dari ahli. Dalam hal ini adalah bidan atau dokter kandungan.
"Jika masih aman, maka pilihannya tetap lebih baik berpuasa. Jika diduga akan membahayakan, apa lagi jika dugaannya kuat, tentu lebih baik berbuka saja," ujar Saiyid yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Sumatera Selatan.
Jika memilih untuk tidak berpuasa, maka bagi ibu hamil tetap wajib mengganti puasa yang ditinggalkan. Menurut alumni Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), adapun detail bentuknya, maka dalam hal ini para ulama berbeda pandangan.
Pertama, puasa saja. Umumnya dalam mazhab Hanafi berpendapat bahwa seorang wanita yang hamil dan menyusui di bulan ramadan boleh baginya tidak berpuasa dan hanya meng-qadha di hari lain saja. Tidak perlu baginya membayar fidiah
Kedua, fidiah saja. Ini adalah pendapat dalam mazhab Maliki, di mana wanita hamil dan menyusui di bulan Ramadan boleh baginya tidak berpuasa dan hanya dibebani untuk membayar fidiah saja. Dan tidak perlu baginya meng-qadha di hari yang lain.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Membayar Fidiah
Ketiga, puasa dan fidiah. Menurut Saiyid, Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam madzhab As-Syafii mengatakan bahwa para ulama kami mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui jika dia khawatirkan dirinya saja maka baginya mang-qadha tanpa membayar fidiah dan jika dia mengkhawatirakan dirinya dan buah hatinya maka baginya juga meng-qadha tanpa membayar fidiah. Dan jika dia khawatir terhadap anaknya maka baginya wajib meng-qadha dan membayar fidiah. Inilah yang di naskan dalam kitab Al-Umm, bahkan juga terdapat dalam qoulqodim dan qouljadid.
Lebih lanjut Ibnu Qudamah (w. 620 H) dari madzhab Hanbali menjelaskan, "wanita yang hamil jika khawatir terhadap janinnya dan wanita menyusui khawatir terhadap anaknya, maka baginya untuk tidak puasa dan harus meng-qadha dan membayar fidiah satu hari satu fakir miskin. Dan jika keduanya khawatir terhadap dirinya maka bagi keduanya untuk mengqadha saja karena dalam hal ini seperti orang yang sedang sakit.
"Fidih yang dimaksud adalah denga nmemberi makan fakir miskin satu mud per hari puasa yang ditinggalkan. Ukuran satu mud itu senilai seperempat dari zakat fitrah, tentu sangat terjangkau. Namun, jika dilebihkan itu lebih baik, dan fidiah boleh juga dibayarkan dalam bentuk uang," kata Saiyid.
Advertisement