Dilema Sekolah Tatap Muka dan Dampak Negatif PJJ

Kendati sekolah diwajibkan menggelar pembelajaran secara tatap muka, keputusan untuk kembali menyekolahkan anaknya secara langsung ada di tangan orangtua.

oleh Yopi Makdori diperbarui 03 Apr 2021, 10:34 WIB
Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar tatap muka di SMP Negeri 2 Bekasi, Selasa (23/3/2021). Pemerintah Kota Bekasi mengizinkan sejumlah sekolah yang berada di Zona Hijau mengadakan pembelajaran tatap muka atau PTM dengan mengikuti pedoman protocol. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim memutuskan untuk mewajibkan pembelajaran secara tatap muka kepada sekolah usai para pendidik dan tenaga pendidiknya telah menjalani vaksinasi Covid-19 secara lengkap.

"Karena kita sedang mengakselerasi vaksinasi, setelah pendidik dan tenaga pendidikan di dalam suatu sekolah telah divaksinasi secara lengkap, pemerintah pusat, pemerintah daerah atau kantor Kemenag mewajibkan satuan pendidikan tersebut untuk menyediakan layanan pembelajaran tatap muka terbatas dengan menerapkan protokol kesehatan," tegas Nadiem dalam konferensi pers daring pada Selasa (30/3/2021).

Nadiem menyebut, sekolah juga wajib memberikan pilihan pembelajaran secara jarak jauh. Hal ini lantara, kendati sekolah telah menjalankan pembelajaran secara tatap muka, namun secara prosedur protokol kesehatan, kapasitas yang diizinkan hanya 50 persen saja.

"Jadi mau tidak mau walaupun sudah selesai vaksinasi dan diwajibkan untuk memberikan tatap muka terbatas, tapi harus melalui sistem rotasi. Sehingga harusnya menyediakan dua-dua opsinya, tatap muka dan juga pembelajaran jarak jauh," tekannya.

Kendati sekolah diwajibkan menggelar pembelajaran secara tatap muka, Nadiem mengatakan keputusan untuk kembali menyekolahkan anaknya secara langsung ada di tangan para orang tua. Orang tua masih memiliki pilihan apakah mau mendorong anaknya untuk belajar di sekolah atau tetap memilih belajar di rumah.

"Yang terpenting adalah orang tua atau wali murid boleh memilih, berhak dan bebas memilih bagi anaknya apakah mau melakukan pembelajaran tatap muka terbatas atau tatap melaksanakan pembelajaran jarak jauh," ucapnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, (Dirjen PAUD Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri menegaskan bahwa kebijakan pembukaan sekolah tatap muka tak harus menunggu hingga Juli 2021, bulan di mana target pemerintah menyelesaikan vaksinasi terhadap para guru. Namun bisa langsung setelah guru dan tenaga pendidikan divaksin.

"Kebijakan mewajibkan satu pendidikan membuka tatap muka berlaku setelah semua guru dan tenaga kependidikannya diberi vaksinasi. Tanpa menunggu tahun ajaran baru tahun 2021/2022," tegas Jumeri dalam acara Pengumuman Surat Keputusan Bersama sejumlah menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), Selasa (30/3/2021).

Mantan Bos Gojek Indonesia itu juga mengungkapkan kekhawatirannya jika sekolah tak kunjung menggelar pembelajaran secara tatap muka. Menurutnya banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan lantaran pembelajaran jarak jauh (PJJ).

"Kita melihat trand-trand yang sangat mengkhawatirkan, trand anak-anak yang putus sekolah. Kita melihat penurunan capaian pembelajaran, apalagi di daerah-daerah di mana akses dan kualitas itu tidak tercapai. Jadinya kesenjangan ekonomi menjadi lebih besar ya," terang Nadiem.

Pembelajaran jarak jauh, lanjut Nadiem juga terpotret sebabkan orang tua menarik anaknya keluar dari sekolah. Hal ini lantaran mereka tak melihat peranan sekolah selama menggelar pembelajaran secara jarak jauh.

"Dan ada berbagai macam isu-isu kekerasan domestik yang terjadi dalam keluarga yang tidak terdeteksi. Jadi risiko dari sisi bukan hanya pembelajaran, tapi risiko dari masa depan murid itu dan risiko psikososial atau kesehatan mental dan emosional anak-anak itu, ini semuanya sangat rentan," ujarnya.

"Jadi kita harus mengambil tindakan tegas untuk menghindari agar ini tidak menjadi dampak yang permanen dan satu generasi menjadi terbelakang," sambungnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Banyak Dampak Negatif

Nadiem menerangkan keputusan untuk mewajibkan pembukaan sekolah diambil mengingat besarnya potensi dampak negatif dari pembelajaran secara jarak jauh.

"Dan berbagai macam pihak, pakar-pakar dunia, seperti Bank Dunia, WHO dan UNICEF semuanya sepakat bahwa penutupan sekolah ini bisa menghilangkan pendapatan hidup di satu generasi, loss of learning ini real dan memang risiko yang dampaknya permanen," tegas Nadiem.

Menteri kelahiran Singapura, 4 Juli 1984 itu menyatakan bahwa hal itu buka hanya menyebabkan dampak negatif pada pembelajaran, melainkan pula pada kesehatan, mental, dan perkembangan anak-anak.

"Dan jangan lupa untuk orang tuanya juga yang sangat sulit mendapatkan kesempatan ekonomi bekerja di luar karena mereka juga harus mengurus anaknya di rumah. Jadi banyak sekali dampak negatif yang ada," urai dia.

Selama pandemi, lanjut Nadiem dirinya juga melihat tren penurunan dalam dunia pendidikan. Terlebih pendidikan di daerah yang akses dan kualitas pendidikannya masih jauh dari kata ideal.

"Jadinya kesenjangan ekonomi bisa menjadi lebih besar. Kita melihat juga banyak anak orang tua yang tidak melihat peranan sekolah dalam proses belajar. Jadi banyak dari anak-anaknya ditarik keluar dari sekolah," terang Nadiem.

Belum lagi menyangkut isu kekerasan domestik terhadap anak selama melakukan pembelajaran jarak jauh di tengah pandemi Covid-19 yang menurut Nadiem kurang teradar.

"Jadi risiko dari sisi bukan hanya pembelajaran, risiko dari masa depan murid itu, dan risiko psikososial atau kesehatan mental dan emosional daripada anak-anak. Ini semuanya sangat rentan," katanya.

Untuk itu pihaknya mengambil tindakan tegas untuk mewajibkan pembukaan pembelajaran secara tatap muka guna menghindari berbagai dampak negatif tersebut.

Nadiem Makarim juga membantah anggap yang menyebut bahwa para murid lebih rentan terhadap Covid-19 ketimbang para guru. Ia menyatakan justru para guru yang rentan terhadap infeksi virus tersebut.

"Riset sudah membuktikan dan kita sudah tahu ini dari data di seluruh dunia bahwa pendidik dan tenaga pendidikan karena umur mereka memiliki kerentanan yang tertinggi terhadap Covid-19. Bukan murid-murid ya," sebut Nadiem.

Nadiem menjelaskan, menurut data yang ia dapat, anak-anak di rentang balita sampai remaja justru memiliki tingkat kematian akibat Covid-19 terhitung rendah.

"Jadi kelompok usia 3-18 tahun ini memiliki tingkat mortalitas yang sangat rendah, dibandingkan kelompok usia yang lainnya ya," paparnya.

Di samping itu, Nadiem memaparkan bahwa infeksi Covid-19 kepada anak-anak usia di bawah 18 tahun kebanyakan hanya bergejala ringan.

"Secara data di dunia yang kita punya anak memiliki kerentanan yang jauh lebih rendah terhadap infeksi Covid dibanding orang dewasa. Dan anak semakin kecil kemungkinan menularkan infeksinya semakin kecil. Semakin muda semakin kecil, ini data dari UNICEF, WHO," jelasnya.

Menurut Nadiem data itulah yang menjadi landasan sejumlah negara di dunia nekat menggelar pembelajaran secara tatap muka di sekolah, kendati angka infeksinya masih terhitung tinggi.

 


Bisa Menulari Orangtua

Namun hal itu dikritisi oleh Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windu Purnomo yang mengatakan ada kekeliruan konteks terhadap pernyataan tersebut. Menurut Windu apa yang dilontarkan Nadiem memang diamini oleh Sains, namun dalam konteks pembukaan sekolah dianggap sedikit keliru.

"Kita punya pengalaman ya, misalnya santri. Santri banyak ada yang terkena, tapi gak ada yang mati, yang mati ya mungkin satu dua oranglah. Tapi mereka nulari kiainya, dan sebagainya. Nah anak-anak yang nanti ini nulari orang tuanya, dan orang tuanya bisa mati," kata Windu saat dihubungi Liputan6.com, Selasa malam (30/3/2021).

Windu mengakui memang para siswa cenderung lebih tahan terhadap Covid-19. Namun jika mereka tertular tak menutup kemungkinan penyebaran infeksi ke orang tua atau nenek-kakeknya. Padahal mereka dengan usia yang lebih senja memiliki potensi yang lebih tinggi sebabkan kematian.

"Bukan anaknya yang dikhawatirkan, anaknya gak papa. Anak-anak itu bisa positif memang dan kasus positif terhadap anak-anak juga cukup banyak," ucap dia.

Windu menegaskan bahwa bahaya ketika sekolah dibuka bukan terhadap para siswanya, melainkan kepada orang-orang yang lebih rentan yang ada di rumah mereka.

"Jadi bahayanya jika sekolah dibuka itu bukan soal anaknya, tetapi lebih anak itu membawa virusnya pulang ke rumah ya toh? Itu dapat juga nulari pendidikannya jika mereka belum divaksinasi itu juga high risk, tapi kalau (guru) divaksinasi ya amanlah," tegas Windu.

Windu menerangkan, pembukaan sekolah secara simultan dapat dilakukan bilamana vaksinasi di lapangan, utamanya terhadap guru dan tenaga pendidikan sudah tinggi.

"Kedua kalau positivity rate itu sudah rendah, artinya risiko penularan di luar itu sudah rendah. Nah itu minimal di bawah 5 persen, paling tinggi 5 persen. Yang terbaik adalah di bawah 2 persen itu baru disebut terkendali," papar dia.

Windu juga mengkritisi nafsu pemerintah yang ingin membuka sekolah secara serentak pada Juli 2021, namun tak diimbangi dengan upaya serius memenuhi dua prasyarat tersebut.

"Kalau seperti sekarang ya vaksinasi masih rendah, posituvity rate-nya masih tinggi. Jadi belum aman kalau sekarang ini, tapi gak tau nanti Juli. Kalau Juli mungkin aja kalau saat ini kita bagus penanganannya bagus. Kalau sekarang gak bisa," tandasnya.

 


Vaksinasi Tak Lindungi Murid

Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane menyebut kewajiban membuka sekolah pasca guru dan tenaga pendidikan divaksin dianggap kurang tepat. Menurutnya vaksinasi terhadap guru hanya melindungi guru bukan murid.

"Guru memang diberikan pengebalan melalui imunisasi, itu untuk melindungi guru bukan melindungi murid. Risikonya besar (tertular) kalau daerahnya belum terkendali," ucap Masdalina kepada Liputan6.com, Jumat (2/4/2021).

Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang terkesan mengentengkan risiko penularan Covid-19 terhadap murid, menurut Masdalina tak berdasar. Menurutnya berapa pun kelompok usianya, semua orang memiliki risiko yang sama untuk tertular Covid-19.

"Apa pun kelompok usianya, semua memiliki kemungkinan yang sama untuk terkena Covid-19 kalau kontak dengan kasus konfirmasi ya. Itu standar dalam epidemiologi," katanya.

Masdalina mengatakan, saat ini memang angka anak tertular Covid-19 cukup rendah. Ia menjelaskan hal itu lantaran saat pandai anak-anak cenderung tak memiliki aktivitas di luar ruangan secara berkerumun. Jika pembelajaran tatap muka di kelas dibuka, maka bisa saja keadaannya berubah.

"Karena pada saat ini anak-anak mobilitasnya tak setinggi orang dewasa. Karena mereka tidak sekolah, kemudian juga orang tua melarang mereka untuk berkumpul dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Dan mereka juga pada saat ini disibukkan dengan kegiatan pendidikan daring, sehingga kemungkinan mereka untuk terekspos dengan kasus konfirmasi itu jauh lebih rendah, sementara orang dewasa lebih besar," jelasnya.

Jika pembelajaran tatap muka dimulai secara simultan, Masdalina meyakini angka penukaran Covid-19 kepada anak-anak jumlahnya bakal setara orang dewasa.

"Bisa saja terjadi (penularan terhadap orang tua)," katanya.

Oleh karena itu, kata Masdalina jika pemerintah kukuh bernafsu mewajibkan pembukaan sekolah pada Juli mendatang, ia menyarankan supaya tak dibuka secara serentak. Namun dipetakan terlebih dulu.

"Nanti dipetakan dulu wilayah-wilayah yang mana yang sudah terkendali dengan berbagai kriteria atau indikator epidemiologi. Jadi yang memutuskan apakah sekolah dibuka atau tidak adalah epidemiolog bukan kepala daerah, bukan menteri, tapi orang yang ahli dalam bidang itu," pungkasnya.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya