Menlu China Minta AS Jangan Halangi Kesuksesan China

Menlu China Wang Yi ajak AS kerja sama untuk menjaga perdamaian dan stabilitas.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 05 Apr 2021, 09:30 WIB
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi berbincang dengan Menko Kemaritiman, Luhut Pandjaitan saat pertemuan di Wisma Negara Diaoyutai, Beijing. Rabu (24/10). Pertemuan membahas kerja sama kedua negara antara lain di bidang kelauatan. (Daisuke Suzuki/POOL/AFP)

Liputan6.com, Beijing - Menteri Luar Negeri (Menlu) China, Wang Yi, meminta agar Amerika Serikat untuk sungguh-sungguh menghormati kepentingan dasar China, serta melihat perkembangan China dengan cara yang benar.

Menlu Wang berkata pertumbuhan China merupakan hal yang sesuai ekspektasi umum dan kepentingan jangka panjang semua negara dan kawasan. Ia pun berkata pertumbuhan China jangan diblokir.

"China siap merespons ekspektasi dari segala pihak dan terus berusaha untuk tujuan ini," ujar Menlu Wang seperti dilansir media pemerintah China, Xinhua, Senin (5/4/2021).

Wang Yi berkata negaranya condong pada dialog dan kerja sama, akan tetapi ia ingin agar itu menguntungkan semua pihak, dan tidak secara unilateral.

China juga mengaku tidak menghindari kompetisi, asalkan adil dan sesuai aturan pasar, serta tindakan obstruksi. Wang berkata jika ada konfrontrasi, maka China siap menghadapinya dengan tenang tanpa takut.

"Dialog lebih baik ketimbang konfrontasi, dan kerja sama lebih baik dari konfrontasi," ujar Wang.

Ia berkata China tak ingin ada satu negara yang mengatur-atur. Wang Yi berharap AS bisa secara aktif mengikuti ekspektasi dari komunitas internasional, serta bekerja sama dengan China untuk menjaga perdamaian dan stabilitas dunia.

Saksikan Video Pilihan Berikut:


Komentar Joe Biden Tentang China

Presiden AS Joe Biden menyampaikan pidato tentang kesetaraan rasial di Ruang Makan Negara Gedung Putih pada 26 Januari 2021, di Washington. (Foto: AP / Evan Vucci)

Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyatakan tak akan membiarkan China melewati Amerika Serikat untuk menjadi negara paling kuat di dunia. Ia berjanji akan berinvestasi besar-besaran guna memastikan Amerika menang dalam persaingan antara dua negara dengan ekonomi terbesar dunia itu. 

Dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (26/3), Joe Biden mengatakan, telah menghabiskan "berjam-jam" dengan Xi Jinping ketika menjabat sebagai wakil presiden di bawah mantan Presiden Barack Obama. Joe Biden juga yakin presiden China percaya otokrasi - bukan demokrasi - memegang kunci masa depan.

Sejak awal Biden telah menjelaskan kepada Xi bahwa Amerika Serikat tidak mencari konfrontasi, tetapi akan bersikeras China mematuhi aturan internasional untuk persaingan yang adil, perdagangan yang adil, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

"China memiliki tujuan keseluruhan. Menjadi negara terkemuka di dunia, negara terkaya di dunia dan negara paling kuat di dunia," katanya kepada wartawan di Gedung Putih.

"Itu tidak akan terjadi dalam pengawasan saya karena Amerika Serikat akan terus tumbuh."

Biden membidik Xi dan Presiden Rusia Vladimir Putin karena merangkul otokrasi. "Dia salah satu orang, seperti Putin, yang berpikir bahwa otokrasi adalah gelombang masa depan, (dan) demokrasi tidak dapat berfungsi di dunia yang selalu kompleks," kata Joe Biden.


Masalah Uighur

"Pusat pelatihan vokasional Hotan" di Hotan County, Prefektur Hotan, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR) (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Pada Maret lalu, media China menyerukan pemboikotan terhadap H&M dan mengecam merek pakaian dan sepatu itu karena mengikuti sanksi Barat terhadap pejabat China yang dituduh melakukan pelecehan HAM di kawasan Xinjiang.

Partai Komunis yang berkuasa mengecam H&M karena pada Maret 2020 mengatakan, pihaknya akan menghentikan pembelian kapas dari kawasan di China barat laut itu. Perusahaan Swedia itu bergabung dengan merek-merek lain dalam mengungkapkan keprihatinan terkait laporan kerja paksa disana.

Harian partai, the Global Times, juga mengecam pernyataan yang diberikan oleh Burberry, Adidas, Nike, New Balance, dan Zara sehubungan isu Xinjiang sejak dua tahun yang lalu.

“Untuk bisnis yang meraih keuntungan dari negara kita, tanggapannya sudah jelas: jangan beli dari mereka!” Demikian kata Televisi China di akun media sosialnya.

Serangan ini menyusul keputusan pada Senin (22/3) oleh blok Uni Eropa yang beranggotakan 27 negara, Amerika, Inggris, dan Kanada untuk memberlakukan sanksi perjalanan dan finansial terhadap empat pejabat China karena pelecehan di Xinjiang.

Lebih dari satu juga orang di Xinjiang, kebanyakan adalah etnis Muslim telah dimasukkan ke dalam kamp-kamp kerja, demikian menurut peneliti dan pemerintah asing. Beijing membantah melakukan penganiayaan terhadap mereka, dan katanya pemerintah berusaha menggalakkan pembangunan ekonomi dan memberantas radikalisme

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya