Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menolak permohonan Djoko Tjandra menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum. Hakim meyakini Djoko Tjandra tidak memiliki unsur sebagai JC.
"Terdakwa tidak memenuhi unsur menjadi justice collaborator," ujar hakim dalam amar putusannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (5/4/2021).
Advertisement
Hakim menyebut, Djoko Tjandra merupakan pelaku utama dalam perkara suap pengurusan fatwa MA, penghapusan red notice, dan pemufakatan jahat. Djoko Tjandra juga dinilai tidak mengakui perbuatannya.
Sementara salah satu syarat untuk menjadi JC yakni bukan pelaku utama, dan mau mengakui perbuatannya. Ketentuan pemberian status JC diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011.
Hakim menjatuhkan pidana penjara 4 tahun 6 bulan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Djoko Soegiarto Tjandra. Hakim meyakini Djoko Tjandra bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
"Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," ujar Hakim dalam amar putusannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (5/4/2021).
Hal yang memberatkan putusan yakni Djoko Tjandra tidak mendukung pemerintah dalam mencegah dan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Perbuatan dilakukan sebagai upaya untuk menghindari keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, serta penyuapan dilakukan ke penegak hukum.
Sementara hal meringankan yakni Djoko Tjandra dianggap bersikap sopan selama persidangan dan berusia lanjut.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Hakim meyakini Djoko Tjandra terbukti menyuap
Hakim meyakini Djoko terbukti menyuap dua jenderal polisi terkait pengecekan status red notice dan penghapusan namanya dari Daftar Pencarian Orang (DPO) di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Djoko melalui rekannya Tommy Sumardi memberikan uang kepada eks Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, sebanyak Sin$200 ribu dan US$370 ribu. Dia juga memberikan uang sebesar US$100 ribu kepada eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo.
Upaya tersebut dimaksudkan agar Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan. Ia berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
Selain itu, Djoko juga menyuap eks Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari, untuk pengurusan fatwa MA.
Fatwa itu dimaksudkan agar meloloskan Djoko dari hukuman MA dalam kasus korupsi hak tagih Bank Bali.
Djoko menyuap Pinangki dengan uang sebesar US$500 ribu. Hakim menerangkan uang itu merupakan fee dari jumlah US$1 juta yang dijanjikan Djoko. Uang itu diterima Pinangki melalui perantara yang merupakan kerabatnya sekaligus politikus Partai NasDem, Andi Irfan Jaya.
Hakim menyatakan bahwa Djoko juga terbukti melakukan pemufakatan jahat dengan Pinangki, Andi Irfan Jaya, dan Anita Dewi Kolopaking dalam pengurusan fatwa MA. Jaksa menyebut mereka menjanjikan uang US$10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
Vonis ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Diketahui, jaksa menuntut Djoko Tjandra dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan. Djoko Tjandra menghadapi tuntutan dalam dua kasus sekaligus, yakni terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
Advertisement