Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dinilai butuh lebih banyak pengusaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke depannya. Hal ini dikarenakan pengusaha dapat menciptakan lapangan kerja.
Project leader Growth Indonesia – a Triangular Approach (GITA) Prof. Neil Towers mengatakan, masih Indonesia perlu terus menambah jumlah entrepreneurnya.
Advertisement
"Skor Human Capital Indonesia masih relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tersebut," kata Towers yang juga pakar retail marketing dari University of Gloucestershire dalam Konferensi Internasional GITA, ditulis Kamis (8/4/2021).
Pandangan Towers diperkuat dengan beberapa laporan hasil riset. Merujuk laporan Global Entrepreneuship Index 2018 (GEI) yang dirilis oleh The Global Entrepreneurship Development Institute (GEDI), Indonesia masih menempati peringkat ke-94 dari 137 negara.
Laporan GEI menyebutkan, IndeksEntrepreneurship Indonesia masih kalah dibandingkan dengan beberapa negaratetangga, seperti Brunei Darussalam #53, Malaysia (peringkat 58), Thailand #71,bahkan Filipina #84, dan Vietnam #87.Laporan GEI 2018 juga memasukkan data tentang Human Capital Score.
Merujuk laporan tersebut, Human Capital Score Indonesia juga masih terbilang rendah, yakni 16 persen. Bandingkan dengan Thailand yang Human Capital Score-nya 49 persen, Malaysia 63 persen atau AS yang 100 persen.
Towers menambahkan, salah satu tempat untuk mencetak pengusaha-pengusaha baru adalah perguruan tinggi. Di beberapa negara maju, memang banyak pengusaha yang lahir di lingkungan kampus. Mark Zuckerberg mendirikan Facebook saat masih kuliah di Harvard University.
"Perusahaan-perusahaan seperti Yahoo! Inc., Google, Facebook, FedEx adalah bisnis-bisnis yang lahir dari kampus. Di Amerika Serikat, Stanford University adalah universitas yang banyak melahirkan pebisnis dari lingkungan kampus," ujarnya.
Upaya untuk melahirkan lebih banyak pengusaha dari lingkungan kampus itulah yang dilakukan oleh konsorsium GITA yang dipimpin oleh Towers. Konsorsium ini beranggotakan 7 universitas dari Indonesia dan 4 universitas dari Eropa.
Pada konferensi internasional GITA, Prof. Towers melaporkan, GITA telah melahirkan 112 perusahaan rintisan (startup) baru dengan nilai bisnis mencapai Rp 115,4 miliar.
Selain itu, pada ajang konferensi internasional tersebut konsorsium GITA juga mengumumkan pemenang kompetisi mahasiswa tingkat nasional untuk proposal bisnis yang berkelanjutan dan pembentukan asosiasi yang melibatkan perguruan-perguruan tinggi anggota konsorsium GITA.
Lahirnya pengusaha lewat kampus ini juga membuat sebuah ekosistem kewirausahaan yang kuat. Menurut catatan Financial Times (2015), sebanyak 46 persen ulusan dari program MBA Babson College, AS, langsung membuka usaha sendiri setamat kuliah. Lalu, 34 persen lulusan Stanfords Graduate School of Business juga langsung berbisnis sendiri setelah lulus.
Di Harvard Business School, sebanyak 28 persen lulusannya yang langsung berwirausaha. Sementara di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan School of Management angkanya mencapai 26 persen.
Di Inggris, ada 27 persen dari lulusan Oxford University yang memilih untuk berkarier sebagai pengusaha. Sementara, di London Business School sebanyak 25 persen lulusannya juga memilih berkarier sebagai wirausaha.
Di masa mendatang, angka ini diperkirakan bakal terus meningkat. Di Inggris, sebagaimana dikutip www.sifted.eu, sekitar 25 persen mahasiswa di sana berencana memulai usaha sambil terus kuliah (survey tahun 2019).
Angka tersebut meningkat lebih dari 30 persen ketimbang tahun 2016. Hasil survei inilah yang mendorong banyak kampus di Inggris mendirikan inkubator bisnis dan program lainnya untuk mendorong mahasiswanya agar berani mendirikan perusahaan rintisan, terutama yang berbasis teknologi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Negara Maju
Rektor President University Jony Oktavian Haryanto mengatakan, jika Indonesia ingin menjadi negara maju, sejajar dengan negara-negara seperti AS, Inggris, atau Jerman, Indonesia harus menjadikan kampus-kampusnya sebagai kawah candradimuka untuk mencetak lahirnya pengusaha-pengusaha baru.
"Untuk sampai ke sana, tentu banyak hal yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi. Kami di President University, misalnya, bahkan sampai merombak kurikulum dengan memasukkan mata kuliah Entrepreneurship sedini mungkin. Kami juga mendirikan inkubator bisnis, menggandeng para praktisi bisnis untuk menjadi mentor dan investor bagi bisnis-bisnis yang dirintis oleh mahasiswa," jelasnya.
Kampus juga dinilai perlu memilikiparadigma kewirausahaan dan harus mampu membangun ekosistem entrepreneurial yang melekat dalam praktik bisnisnya sehari-hari. Intinya, kampus perlu bertransformasi menjadi Entrepreneurial University.
Upaya kampus-kampus untuk melahirkan lebih banyak pengusaha baru tersebut mendapat sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka.
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam menjelaskan, melalui program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka perguruan tinggi dituntut untuk mempersiapkan kompetensi mahasiswanya, salah satunya adalah kompetensi untuk menjadi seorang wirausahawan.
“Salah satu program dari Merdeka Belajar, Kampus Merdeka adalah memberikan hak kepada mahasiswa untuk belajar di luar program studinya selama 3 semester. Selama kurun waktu tersebut, mahasiswa boleh memilih serangkaian aktivitas. Di antaranya, melakukan kegiatan wirausaha dengan bimbingan dosen," papar Nizam.
Prof Ismunandar, Pelaksana Tugas Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan serta staf ahli bidang Pembangunan Berkelanjutan, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, menjelaskan Indonesia baru bisa menjadi negara maju kalau jumlah pengusahanya terus bertambah.
"Saat ini baru sekitar 3 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang menjadi pengusaha. Jumlah ini masih terlalu sedikit. Amerika Serikat dan Jepang menjadinegara maju karena lebih dari 10 persen penduduknya yang berwirausaha. Untuk ituKemenristek/BRIN akan terus mendorong kampus-kampus agar mampu mencetak lebih banyak lagi pengusaha baru. Untuk itu kampus perlu membangun ekosistem kewirausahaan," tandasnya.
Advertisement