Wawancara Melati Wijsen: Greenwashing, Youthtopia, dan Kantong Plastik

Aktivis lingkuhan Melati Wijsen telah menginjak usia 20. Ia membahas fenomena greenwashing di dunia industri, hingga konsistensi melawan sampah plastik.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 12 Apr 2021, 17:35 WIB
Melati Wijsen di World Economic Forum. Dok: Melati Wijsen

Liputan6.com, Jakarta - Melati Wijsen masih belum menyerah dalam misinya untuk melindungi lingkungan. Perjuangannya melawan penggunaan kantong plastik di Indonesia sudah memasuki tahun ke delapan. 

Melati tidak berjalan sendirian. Ia bersama adiknya, Isabel, mengumpulkan para anak-anak muda dalam gerakan Bye Bye Plastic Bags. 

Sewaktu pertama kali viral, Melati masih berusia sangat belia. Kini, usianya sudah 20 tahun. Ia sudah pernah bertemu CEO Bank Dunia Kristalina Georgieva hingga berdiskusi dengan anak-anak di Bantar Gerbang. 

Sumber kekuatan Melati adalah koneksi yang ia jalin dengan para pemuda dari berbagai latar belakang. Mereka duduk bersama dan berbincang mengenai ide-ide tentang lingkungan. 

Liputan6.com berbincang dengan Melati Wijsen dan bertanya apakah mungkin Indonesia sepenuhnya bisa bebas plastik? Bagaimana dengan pengguna plastik di pasar tradisional? Apa tanggapan Melati terkait fenomena greenwashing? Dan apa film dokumenter lingkungan rekomendasi Melati? 

Berikut wawancara secara virtual bersama Melati yang berada di Bali:

Saksikan Video Pilihan Berikut:


Komitmen Melati

Aktivitas Melati Wijsen bersama Bye Bye Plastic Bags di Bali, 2019. Dok: Melati Wijsen

Gerakan Bye Bye Plastic Bags sudah berlangsung sejak 2013 hingga sekarang. Sudah 8 tahun. Itu sebelum saya menjadi jurnalis. Apa yang membuat kamu mempertahankan loyalitas pada program ini?

Melati: Sulit untuk melepaskan sesuatu jika kamu sangat passionate terhadap hal itu, dan bila kamu tahu bahwa itu adalah sesuatu yang benar. Saya pikir itulah dampak dari kantong plastik, hal itu telah memunculkan gerakan anak-anak muda. Inilah contoh dari apa yang bisa kita raih jika kita berusaha dengan keras. Jadi saya pikir itulah yang membuat saya terbangun tiap pagi, dan berkata bahwa masih ada hari baru.

Ketika kami memulai gerakan ini, usia kami 10 dan 12 tahun. Jadi kita dulu berpikir gerakannya bakal selesai saat musim panas berakhir dan sebelum kami kembali masuk sekolah dapat meraih tujuan tersebut. Tetapi seperti yang kamu bilang: delapan tahun tetap berada di garis depan. Saya pikir ini karena betapa terikatnya kami pada visi tersebut.

Kamu pernah menyebut tak ada solusi "global copy-paste" tentang masalah plastik. Bisa jelaskan?

Melati: Sekarang Bye Bye Plastic Bags berada di 57 lokasi di seluruh dunia dan lebih dari 30 negara. Semuanya dipimpin oleh pemuda. Hal yang segera kami pelajari adalah tidak ada pendekatan yang sama atau teknologi yang sama yang bisa diterapkan di Bali, sama seperti di London, atau sama di Nepal.

Maksud saya adalah kita perlu memahami komunitas lokal, mindset lokal, level edukasi, kemauan politik, kepemimpinan para politisi, dan kerangka apa yang sudah ada. Jadi kami mendorong semua tim kita di lapangan untuk untuk melakukan penelitian agar memahami segala pertanyaan dan jawabannya, sehingga kita bisa mendapatkan pendekatan yang berfungsi bagi area lokal.


Kantong Plastik di Pasar Tradisional

Telur ayam di Pasar Grogol, Jakarta Barat. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com

Apakah kantong plastik bisa sepenuhnya dilarang? Bagaimana dengan pasar tradisonal? Sebab ada orang-orang yang membutuhkannya, seperti untuk membeli ayam atau daging.

Melati: Pertanyaan saya yang pertama adalah apa yang mereka pakai sebelum ada plastik? Menarik bahwa mereka membutuhkan kantong plastik, tetapi sebelum ada plastik mereka juga sudah bisa. Apa yang kita butuhkan adalah berbagi dan menunjukan alternatif dalam skala besar. Ini juga termasuk cara-cara tradisional, seperti keranjang rajut dan daun pisang. Dulu kita bisa melakukannya, maka kita bisa melakukannya. Ini terkait mindset dan re-learning.

Ada dua alasan mengapa kita menggunaan plastik: murah dan gampang. Tidak ada yang ingin melepaskan kenyamanan tersebut, dan terkadang ketika mereka berpikir tentang perubahan itu terdengar sebagai pengorbanan, tetapi sebetulnya dulu kita pernah melakukannya. Itulah mengapa dibutuhkan re-learning, yakni agar kembali ke praktik-praktik tradisional.

Apa yang juga perluka adalah implementasi yang lebih kuat dan konsekuensi yang lebih kuat atas apa yang terjadi jika kita memakai plastik sekali pakai.  

Sebagai konsumen kita bisa mengubah (pemakaian) kantong plastik sekali pakai, tetapi kita juga harus mulai untuk menekan perusahaan penghasil plastik untuk berhenti membuat kantong plastik sekali pakai.

Jika melakukan itu, maka bisa muncul tekanan dari pedagang pasar kepada pemerintah, sehingga ada masalah politik. Apa pendapat kamu?

Melati: Saya pikir ada masalah politik, masalah kepemimpinan, dan juga masalah implementasi. Kemauannya ada, saya pikir ada di setiap level. Tidak ada yang ingin menjadi bagian dari dunia plastik. Kita semua melihat masalahnya. Kita hidup dan menyaksikannya. Tetapi implementasi dan usaha untuk mengubahnya terlalu lambat. Beberapa halangan terbesar adalah implementasi dari A sampai Z.

Tanda tangan, stempel, dan headline berita bahwa kita ingin mencekal kantong plastik merupakan langkah awal. Namun sosialisasinya, kerja keras untuk menunjukan dan berinvestasi pada alternatifnya agar semua orang, bahkan di level pasar, mampu mendapatkan alternatifnya, itulah transisi jangka panjang yang perlu terjadi terutama di Indonesia.


Storytelling dan Greenwashing

Melati Wijsen bersama para aktivis lingkungan dari seluruh dunia. Dok: Melati Wijsen

Saya pikir storytelling sangatlah penting untuk membuat orang-orang memahami bahaya dari kantong plastik. Storytelling penting untuk menginspirasi orang-orang. Bagaimana caranya agar cerita kamu didengar oleh banyak orang?

Melati: Orang-orang kesulitan untuk melakukan perubahan. Mengapa? Sebab mereka tidak paham kenapa hal itu penting. Itulah mengapa storytelling, sebab kamu menjadi bisa membuat seorang individu merasa terkoneksi dengan masalah besar ini. Cara-cara yang kami telah lakukan untuk ini adalah melalui workshop, melalui pidato-pidato edukasi di sekolah. Fokus terbesar dari Bye Bye Plastic Bags adalah dengan sekolah dan murid.

Kami percaya bahwa anak-anak muda bisa mempercepat perubahan-perubahan ini. Jika kamu berbagi dan menanam bibitnya di anak-anak, maka saat pulang mereka membahasnya dengan orang tuanya, dengan kakak-adiknya, dengan tetangganya, dan saya pikir storytelling sangat efektif bagi para generasi muda karena kami bisa melibatkan segalanya yang kita alami dalam hidup kami.

Apa pendapat anda tentang perusahaan-perusahaan yang melakukan greenwashing? Seperti perusahaan yang  berkata melakukan program hijau, tetapi mungkin sebenarnya punya program lain yang tidak bersahabat dengan lingkungan.

Melati: Greenwashing sangatlah berbahaya. Greenwashing sudah ada sejak lama, dan sekarang kembali besar-besaran. Pasalnya, istilah berkelanjutan dan (ekonomi) sirkular telah menjadi tren. Dari situ kita bisa melihat momentum tumbuh, ketertarikan tumbuh, tetapi ada bahaya bahwa apa yang kita berusaha capai malah menjadi rencana pemasaran.

Apa yang harus kita mulai lakukan adalah membuat perusahaan-perusahaan itu akuntabel. Mendorong pemimpin politik kita agar membuat sistem agar tidak ada yang boleh berkata sesuatu jika tidak benar-benar dilakukan. Bagaimana kita bisa membuat sistem pengukuran. Bagaimana kita bisa membuat komunikasi yang transparan dari para perusahaan dan korporasi dalam skala besar kepada publik.

Pasalnya, ada tanggung jawab yang harus dimiliki para korporasi ini, dan perlu agar transparan, tetapi sekarang itu tidak terjadi.


Melati di Bantar Gerbang

Melati Wijsen dan gerakan Bye Bye Plastic Bags di Bantar Gerbang, 2019. Dok: Melati Wijsen

Anak-anak di kota besar dapat dengan mudah mengakses internet untuk memahami isu lingkungan, namun bagaimana caramu menggapai anak-anak di daerah terpencil?

Melati: Ini merupakan bagian favorit dari tugas saya. Saya sebetulnya telah mengunjungi berbagai penjuru dunia. Seringkali kami berada di kota besar dan sekolah dengan koneksi internet, tetapi kita juga mengeksplorasi area-area yang terdiskoneksi. Motivasi dan semangat para anak-anak terasa sama dimana-mana.

Tak penting di mana lokasimu di dunia, generasi kami paham bahwa kami perlu mengambil tindakan. Kami melakukan kegiatan interaktif di daerah pegunungan, bukan dengan presentasi powerpoint, tetapi dengan duduk bersama mereka dan menanyakan tantangan-tantangan yang dihadapi dan apa pemikiran mereka tentang resolusi yang bisa dibuat.

Sebelum adanya internet, sebelum teknologi, sebelum media sosial, kita bisa membuat perubahan. Jadi saya sangat terinspirasi ketika dapat berinteraksi dengan anak-anak muda. Saya pernah ke Uganda, Malawi, dan beberapa negara Afrika yang sangat menginspirasi saya. Namun juga di Indonesia saya pernah ke Maluku, bahkan di Jakarta, di luar Bantar Gerbang, pada tempat pembuangan, (kami) berbicara dengan anak-anak di sana.

Jadi ini adalah bagian dari tanggung jawab kita untuk mempelajari kesadaran dan pendidikan lingkungan untuk membagikannya dengan orang sebanyak mungkin, tidak hanya dengan orang-orang yang sepemikiran.


Youthtopia

Program Youthtopia. Dok: Melati Wijsen

Bisa kamu ceritakan tentang program baru Youthopia dan bedanya dengan Bye Bye Plastic Bags?

Melati: Bye Bye Plastic Bags telah aktif sejak 2013 selama 8 tahun, dan kami mendapatkan privilege untuk berbicara dengan setengah juta murid- di seluruh dunia. Dan setiap saat kami masuk ke ruang kelas, kami selalu mendapat pertanyaan yang sama: Bagaimana agar saya bisa melakukan apa yang kamu lakukan?

Disinilah Youthtopia muncul. Ini untuk memperkuat ekosistem. Kami bekerja di garis depan bagi changemakers di garis depan. Youthopia adalah markas dari para changemakers (pembuat perubahan) di seluruh dunia, sebab kami percaya bahwa setiap anak muda bisa menjadi changemakers muda, tetapi tidak semua orang tahu di mana untuk memulai, atau bagaimana membuat perbedaan atau perubahan.

Tim Bye Bye Plastic Bags di Bali, 2019. Dok: Melati Wijsen

Kekuatan gerakan Bye Bye Plastic Bags adalah kita fokus pada plastik. Tetapi Youthtopia memiliki fokus pada semua 17 SDG. Itulah kerangka pemandu kita. Semua topik (SDG) bisa kita tampung, seperti kehidupan bawah laut, perubahan iklim, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender. 

Apa ada batasan umur bagi Youthtopia?

Melati: Grup yang kita fokuskan adalah usia 12-25 tahun, tetapi kita memiliki anggota yang sedikit lebih tua dan muda. Namun, program-program yang kita buat adalah untuk kelompok usia yang barusan saya sebut.

Isabel dan Melati Wijsen di acara Bali’s Biggest Clean Up 2020, Petitenget Beach, Seminyak. Dok: Melati Wijsen

Apakah gratis?

Melati: Jadi kita punya layanan langganan paket. Ada paket dasar, dan paket plus, dan portal beasiswa di mana kita menghadirkan anak-anak muda yang punya passion dan minat, tetapi tidak memiliki dana.

Bagaimana jika ada yang bergabung tetapi anak itu masih sekolah?

Melati: Youthtopia bukanlah sekolah, bukan universitas, kita adalah platform belajar, sebuah platform yang berpusat pada komunitas di mana kita menghadirkan program-program. Kita memiliki delapan layanan atau kanal yang berbeda. Yang paling menarik adalah masterclass Youthtopia.

Ini merupakan program signature tempat kami bekerja dengan changemakers muda di garis depan untuk berbagai skill. Jadi seperti bagaimana berbicara di publik, bagaimana melakukan penelitian yang benar, bagaimana menangkap kisahmu. Semua skill tersebut dikembangkan oleh changemaker muda.

Layanan lainnya adalah Youthtopia one-on-one yang merupakan sebuah layanan mentoring informal. Kamu bisa memilih changemakers untuk diajak berbicara selama 30 menit melalui Zoom. 

Ini adalah untuk membesarkan generasi changemakers muda dan membuat ekosistem pemberdayaan pemuda tempat anak-anak muda bisa memperkuat satu sama lain.


Inspirasi dan Rekomendasi

Putri Diana terus menjadi perbincangan, barang peninggalannya pun dianggap sangat berharga (AP Photo)

Kamu menyebut Lady Diana sebagai salah satu sumber inspirasi. Bisa ceritakan?

Melati: Di Ted Talk kami (Melati dan adiknya, Isabel), kami menyebut nama Lady Diana, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, waktu itu adalah saat SMP ketika pertama kali mendengar nama-nama orang yang membuat perubahan. Lady Diana adalah salah satunya.

Sewaktu SMP adik saya pernah ke sekolah sebagai Lady Diana. Waktu itu di sekolahnya ada acara untuk berpakaian seperti orang-orang yang menginspirasi. Saya pikir sifat elegan dan tekad untuk sungguh-sungguh membuat perubahan positif, tanpa mempermasalahkan bagaimana cara orang-orang memandangmu, bila kamu mengerti secara kuat apa yang kamu perjuangkan. Itulah yang kami kagumi dari Lady Diana. Dan itu berlaku bagi individu-individu lain yang kami sebutkan dan pelajari.

Siapa aktivis lingkungan favorit anda? Jane Goodall? David Attenborough?

Melati: Ada begitu banyak orang yang ingin saya sebut. Tentunya Jane Goodall adalah inspirasi besar, dan saya bertemu dia beberapa kali. Sebenarnya saya makan malam bersama dia di Davos. Dan tentunya David Attenborough. Saya tumbuh besar mendengarkan suaranya. Saya saya menyukai dokumenter karyanya.  

Orang-orang yang paling menginspirasi saya adalah generasi saya. Jadi semua anggota Circle of Youth. Ketika saya mendengar apa yang mereka mampu raih atau hasilkan, itu merupakan motivasi terbesar saya hari ini. Itulah alasan sebenarnya mengapa saya bangun dan bangkit di pagi hari.

Apakah ada rekomendasi film atau dokumentasi yang harus seseorang tonton bila ingin memulai jadi aktivis lingkungan?

Melati: Bisa saya berikan daftarnya? (tertawa) Banyak sekali. Beberapa yang membuat perbedaan bagi saya adalah Racing Extinction (Louie Psihoyos) dan A Life On Planet (David Attenborough). Keduanya sangat luar biasa. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya